السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Awal Mula
Diskusi adalah bagian fenomena wajib mahasiswa disela - sela doktrin - doktrin dosen dalam suasana kampus. Dengan siapa kita berdiskusi disitulah gagasan pemikiran - pemikiran kita mulai mengembrio yang pada akhirnya menjadi pilihan, apakah akan diaborsi ataukah terus dikandung hingga dilahirkan menjadi jabang pemikiran.. Seperti kata Tan Malaka, jika engkau ingin tahu isi kepala seseorang lihatlah buku apa yang dia baca dan dengan siapa dia berdiskusi. Tentu, ungkapan tersebut tidak bisa digeneralisir melainkan bisa menjadi bahan renungan bahwa dengan siapa kita semakin intens berdiskusi disitulah buah pemikiran seseorang menjadi berdikari.
Sama halnya dengan tulisan yang akan saya bawakan ini, adalah sekelumit cerita pergulatan diri antara prinsip dengan dinamika pemikiran rekan, guru, bahkan tokoh yang terus mengembang sepanjang hayat. Apa yang menjadi prinsip seseorang hari ini boleh jadi akan berubah di masa yang akan datang atau justru prinsip orang tersebut terus menguat dari hari ke hari sejalan dengan pengalaman hidup yang melegitmasi prinsipnya tersebut.
Sama halnya dengan apa yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini adalah sebuah kisah saya berdiskusi, bertukar pikiran baik dengan rekan, guru, tokoh yang seirama dengan prinsip saya dan juga tentunya dengan yang berbeda prinsip dengan saya. Pada akhirnya menggiring saya dalam dilematika kesimpulan apakah tetap yakin berpegang teguh dengan prinsip yang saya yakini, atau akhirnya.
Ya, sesuai judulnya yang membuat sebagian orang menjadi “triger” Anda sama terpancingnya dengan saya tatkala saya tengah mendiskusikan ihwal ekonomi Islam dengan beberapa rekan, yang saya rasa berprinsip pada modernitas berbanding dengan saya yang masih memegang prinsip tradisionalitas.
Mereka Berkata,
“Sebetulnya bunga dalam sistem perbankan itu bukan riba seperti yang dimaksud dalam prinsip ekonomi Islam”, sayapun mulai mengkrenyitkan dahi “bagaimana bisa begitu?” pungkas saya. “Ya, riba yang dimaksud dalam prinsip Islam adalah riba Jahiliyah dimana orang kaya waktu itu memang sengaja mengeksploitasi orang miskin dengan memberikan pinjama uang dan memberlakukan bunga yang berlipat ganda dimana mereka mustahil bisa membayarnya sehingga itulah riba yang dilarang Islam”. “Nah, bedanya” mereka melanjutkan “Sistem bunga dalam perbankan itu bukan riba karena orang yang diberikan kredit itu bukan sembarang orang dan ada analisa kredit untuk menjamin bahwa pihak peminjam betul - betul bisa mengembalikan pinjaman tersebut, bahkan bunga yang diberikanpun sangat manusiawi (sedikit)”. Sayapun makin merasa “Excited” sembari memegangi dagu saya, “Lagipula adanya sistem bunga itu bukannya saling menguntungkan?, Karena pihak kreditor ( peminjam ) menjadikan adanya uang yang dipinjamkan menjadikan mereka tidak bisa menggunakan uang tesebut, sehingga harus ada bunga sebagai biaya kompensasi akibat kreditor tidak menggunakan uang tersebut?” “coba deh bar,” lanjut mereka “ hutang dari perbankan itu nyatanya dapat mendongkrak perekonomian secara rill ketimbang mengandalkan tabungan?”
“huuuft”, sayapun menghela nafas. Masuk akal memang jika ditinjau dari filosofis ekonomi itu sendiri. Sayapun belum bisa menyanggah dengan baik dan lebih memilih diam. Kalah memang saya pada waktu itu, karena prinsip yang saya pahami sedari awal ialah, ya bunga itu riba bahkan dalam fatwa kontemporer yang diterbitkan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) tahun 2004 tentang bunga bank, hanya menyentuh dari sisi hukum Islamnya saja dan ( menurut saya ) belum menyentuh teoritis pelegalan sistem bunga itu sendiri.
Jadi, ya seperti yang Anda perkirakan, kala itu saya tengah mengalami krisis atas prinsip saya. Bahkan krisis itu diperparah ketika saya disodorkan beberapa tulisan seorang cendikiawan bernama Mun’im Sirry yang bertajuk “Riba dilarang Bunga bank boleh” waduh!!! makin seru saja pergulatan ini.
SAMPAI PADA AKHIRNYA
Suatu hari selepas jam kuliah menunggu jam kuliah berikutnya saya mampir ke perpustakaan kampus, ya sekedar baca - baca buku saja. Waktu itu bingung juga mau baca buku apa, Akhirnya saya asal aja ambil buku yang ada disitu, dari judulnya sih menurut saya common sense banget
BANK SYARIAH, DARI TEORI KE PRAKTIK
Ditulis oleh Syafiie Antonio. Yang buat saya menjadi tertarik penulis ini adalah mualafan dari Nasrani yang akhirnya mengambil kesarjanaan ekonomi islam hingga doktoral, waw. Sesuai yang saya duga isinya gak jauh beda dengan penekanan prinsip ekonomi islam itu sendiri dan mengislamkan bank dengan akad - akad syariah, oke ini saya sudah paham.
Namun ada satu bab yang cukup menarik yang menjadi perhatian saya, yang bertajuk
RIBA DALAM PRESPEKTIF EKONOMI
Wah, ini nih bagian yang saya cari - cari beliau kupas tuntas dalam menyanggah teori riba dalam prespektif ilmu ekonomi. Paling tidak ada 7 alasan pembenaran kaum ribawi yang melegalkan praktik bunga sebagai pembolehan, mari kita kupas.
7 Argumen Bunga dalam Prespektif Ekonomi
Teori Abstinence
Dasar dari pemikiran ini ialah bahwa pemilik modal diasumsikan menahan diri ( abstience ) memanfaatkan uangnya sendiri semata - mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Mereka berasumsi bahwa peminjam harus membayar kompensasi ( dalam bentuk bunga ) kepada pemilik modal akibat dia tidak dapat menggunakan modal tersebut untuk memenuhi keuntungannya. Hal ini mereka analogikan bahwa peminjam modal harus membayar sewa akibat penggunaan modalnya, seperti dia menyewa rumah, mobil, dan lainya.
Benarkah demikian? Nyatanya, peminjan dana/modal hanya akan meminjamkan uang yang tidak mereka gunakan sendiri. Dengan kata lain kreditor hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang dia perlukan. Hakikatnya, kreditor tidak menahan diri atas apapun. Selain itu tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsur penundaan konsumsi dari teori bunga abstinence. Kalaupun ada, bagaimana menentukan suku bunga yang adil antara kedua belah pihak, yakni pemilik uang dan peminjam uang tersebut?. Tentu hal tersebut sangatlah subjektif dan hanya mengandalkan feeling si pemberi modal bukan? ( alias suka - suka dia menetapkan bunganya).
Bunga Sebagai Imbalan Sewa
Pada asumsi ini mereka menyamakan uang sebagai komoditas seperti rumah, mobil, kendaraan dan lainya.
Padahal sewa hanya dibebankan terhadap barang - barang yang bila digunakan akan habis, rusak, dan kehilangan sebagian dari nilainya. Biaya sewa layak dibayarkan terhadap barang yang susut, rusak, dan memerlukan biaya perawatan. Sedangkan uang tidak masuk dalam kategori tersebut. Karena itu, menuntut sewa terhadap uang tidak beralasan.
Lagipula, dalam disiplin ilmu ekonomi barat, terdapat rumus yang menempatkan posisi sewa ( rent ), upah ( wage ), dan bunga ( interest ).
Dari rumus di atas menunjukkan bahwa padanan rent adalah pada aset tetap dan aset bergerak. Secara ilmu ekonomi konvensional sekalipun, amatlah keliru bila menempatkan rent pada uang karena uang itu bukan aset tetap seperti rumah atau bergerak seperti mobil yang dapat disewakan.
3. Teori Produktif - Konsumtif
Teori ini diasumsikan bahwa kreditor meminjam uang untuk kegiatan produktif, sehingga pemilik modal dibenarkan menarik sejumlah persen keuntungan yang dikompensasikan dalam bentuk bunga yang pasti setaip bulan.
Hal ini tentu sangat tidak realistis jika terjadi di lapangan, bagaimana jika peminjam dana mengalami kerugian? Dasar apa yang dapat membenarkan kreditor menarik keuntungan secara tetap setiap bulan bahkan tahunan? Coba bayangkan seandainya pemberi pinjaman diminta untuk menjalankan usahanya sendiri, apakah dia dapat menjamin bahwa dia pasti selalu untung dalam setiap kondisi apapun, bahkan dalam keadaan krisis atau resesi? Jelas, jawabanya tidak. Tetapi mengapa dia mewajibkan keuntungan kepada orang lain atas dasar dalih asumsi produktif, padahal dia sendiri tidak mampu melaksanakannya. Selanjutnya apa peran pemberi dana untuk mendapat bagian bunga padahal dia tidak melakukan apa-apa, sedangkan peminjam dana mereka bekerja keras, meluangkan waktu, tenaga, kemampuan, bahkan modalnya sendiri tanpa keuntungan yang pasti.
Seharusnya jika sedari awal pemilik dana hendak mengajak berbisnis kepada peminjam dana, maka cara yang wajar adalah kerjasama dan berbagi keuntungan ( mudhorobah ) bukannya meminjamkan modal dengan menarik bunga tanpa menghiraukan apapun yang dihadapi oleh peminjam modal.
Selanjutnya sedari awal pemilik modal haruslah jujur dalam membuat kesepakatan dengan peminjam dana, apakah dia bermaksud untuk berbisnis atau membantu secara kemanusiaan. Dalam hukum Islam hal tersebut menjadi sangat vital kejelasannya. Misal, jika sedaria awal untuk kemanusiaan maka bisa menggunakan akad qordhul hasan atau memberi pinjaman dengan baik tanpa membebankan bunga kepada peminjam modal.
Teori Opportunity Cost
Hampir serupa dengan teori abstinence pada teori ini mereka berasumsi bahwa pemilik modal menjadi kehilingan kesempatan ( opportunity cost ) akibat meminjamkan dananya kepada peminjam. Sehingga mereka membenarkan bahwa mereka harus mendapat kompensasi akibat kesempatan yang hilang akibat dananya di pakai peminjam modal dalam bentuk bunga.
Pandangan ini, lagi-lagi, berbenturan dengan pertanyaan dasar. Bagaimana peminjam dana bisa memastikan kalau dia tidak meminjamkan dananya, dia akan mendapat keuntungan atau kepuasan dari modalnya sesuai dengan dana/modal yang dia pinjamkan ke peminjam? Pengukuran apa yang digunakan pemilik modal dalam menghitung biaya kesempatannya yang hilang terhadap peminjam modal? Objektifkah? Atau hanya mengedepankan perasaan ( hawa nafsunya ) saja?
Teori Kemutlakan Produktivitas Modal
Pada teori ini dilandasi dari para ahli ekonomi yang menekankan fungsi modal dalam produksi, Menurut pandangan tersebut, modal adalah sesuatu yang pasti produktif dengan sendirinya. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan modal itu. Modal dipandang mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah. Dengan demikian, pemberi pinjaman merasa layak untuk mendapatkan imbalan bunga.
Akan tetapi, benarkah secara rill modal selalu produktif? Kenyataanya, modal menjadi produktif hanya apabila digunakan utnuk kegiatan bisnis. Modal bahkan bisa menjadi tidak produktif ketika keadaan ekonomi sedang merosot. Namun, bila digunakan untuk tujuan konsumsi, modal menjadi tidak produktif sama sekali. Bahkan, modal itu sejatinya bisa menjadi produktif lantaran ada faktor-faktor lain yang menyertainya. Bahkan salah satu teori ekonomi Cobb-Douglas yang terkenal atas efisiensinya itu, modal bisa dikatakan produktif ketika dipadukan dengan faktor tenaga kerja ( labor ) alias modal itu tidak akan menjadi apa - apa tanpa campur tangan pekerja.
Maka sangat tidak beralasan jika modal dipandang memiliki fungsi produktivitas mutlak. Sebaliknya lebih tepat jika dikatakan modal memiliki potensi produktivitas. Maka, apa yang menjadi alasan pemilik modal untuk membebankan bunga jika modal itu sendiri baru berupa potensi untuk menjadi produktif?
Teori Nilai Uang Pada Masa Mendatang Lebih Rendah Dibanding Masa Sekarang ( time value of money ) dan Inflasi.
Sederhananya mereka beranggapan bahwa nilai uang dimasa yang akan datang nilainya akan menurun dan harga barang - barang di masa yang akan datang akan meningkat. Contoh rumusan ini misal, mereka berasumsi bahwa nilai 100 juta rupiah hari ini adalah sama dengan 125 juta setahun mendatang ( decreasing purchasing power of money ).
Lagi-lagi semuanya didasarkan dengan asumsi satu sisi. Mereka hanya mengasumsikan nilai uang dan daya beli uang terus menurun. Padahal dalam kenyataan tidak selamanya terjadi inflasi bahkan juga terjadi deflasi (kebalikan dari kondisi inflasi ) yang justru menyebabkan harga-harga menjadi turun. Jika memang kenyataanya demikian, mengapa peminjam dana memberikan bunga sebagai kompensasi nilai uang yang terus menyusut.
PENUTUP
Memang, sejauh saya mempelajari ilmu ekonomi terutama ekonomi islam dalam memandang sebuah objek persoalan muamalah kerap terjadi silang pendapat dalam ihwal teknis penerapan prinsip ekonomi islam itu sendiri. Secara umum, semua ulama dan para cendikiawan sepakat riba itu adalah haram dalam Islam, hanya dalam penerapannya mereka berselisih pendapat apakah objek muamalah tersebut dalam kategori riba atau bukan? Munculnya perbedaan ini tentunya berakar dari premis atas permasalahan tersebut serta sudut pandang pengalaman masing - masing orang.
Secara akademisi, saya menghormati apa yang menjadi alasan pijakan argumen mereka walaupun saya tidak sejalan dengan argumen mereka. Memang dalam doktrin ilmu ekonomi konvensional tidak dikenal prinsip ketuhanan, yang ada hanyalah landasan moral atau material yang kadang keduanya kerap harus diutamakan salah satunya. Padahal, sebelum ilmu ekonomi modern muncul pasca Adam Smith merilis buku the wealth of nation setahun sebelumnya dia merilis buku the moral of sentiment yang berpirnsip bahwa semua kegiatan ekonomi haruslah berprinsip pada moral, kemanusiaan, saling mensejahterahkan bersama. Bahkan teori Adam Smith itu muncul akibat kritik atas teori merkantilisme yang populer sebelumnya, dimana individu cenderung memperkaya diri sendiri tanpa memperdulikan moral.
Kembali pada pokok bahasan, saya pribadi tetap berpegang pada prinsip bahwa bunga bank itu adalah riba, kendati bunga itu dapat dibenarkan secara prinsip ekonomi konvensional. Karena keumuman hadist dari sabda Rosulullah ﷺ
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ حَرَامٌ
“ Setiap hutang yang diambil manfaat maka itu adalah riba”
HR. Addailami no.4778
Jadi, walaupun hanya mengambil manfaat 0,00000001%, saja dari akad bunga ya jelas hal tersebut adalah riba walaupun mereka melakukan pembenaraan dari sudut pandang rasionalitas ilmu ekonomi itu sendiri.
Sebetulnya Islam sendiri sudah menawarkan solusi alternatif yang lebih adil antara kedua belah pihak tanpa harus menggunakan sistem riba. Insyaa Allah hal tersebut akan kita bahas dilain kesempatan.
Jazza Kumullahu Khoiro
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“ Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”