السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Jumpa lagi nih, maklum cak Akbar lagi semangat-semangatnya nulis hehehehe.
Oke, pada tulisan kali ini aku mau berbagi dan membahas dari sudut pandang ekonomi, tentang kenapa sih suatu negara tu harus berhutnag??? apalagi sampe utang-utang ke elit global ilmunasi wahyudi, hayolooo. jadi intinya aku akan coba menjelaskan secara singkat N padat tentang kenapa kita harus berhutang dan apa dampak/implikasinya terhadap perekonomian. Oke, langsung aja cekiddot…
Alasanya bukan karena negara ga punya duit, tapi ada satu alasan yang paling bisa diterima (dalam teori ekonomi madzhab neoklasik) yakni
CAPITAL ACCUMULATION
atau dengan bahasa lainya akumulasi modal. Apa maksudnya? sederhananya gini. kamu pengen buka usaha Warung Bakso Barokah 313 tapi modalmu (dari tabungan) cuma 30 juta padahal targetmu kamu butuh modal 100 juta untuk mengekspansi usahamu. Dengan apa kamu mendapatkan tambahan modal 70 juta biar modalmu genep 100 juta? ya pilihanya cuma ada dua kalo ga ngutang yang ngajak investor (pemodal).
Kedua langkah tadi sama – sama ada plus-minusnya. Kalo kamu ngajak investor ya enaknya kalo misal terjadi kerugian kamu ga harus balikin tuh duit ke investor selama kerugian terjadi secara alami bukan karena kesengajaan atau kelalain kamu. Tapi ga enaknya kalo nanti untung, ya keuntungan dibagi secara proporsional antara kamu sama investor (pemodal). Opsi lain kamu bisa ngutang, ya sama plus nya kalo kamu untung gede kamu ga ada kewajiban bagi keuntunganmu sama pemberi hutang. Minusnya kalo kamu rugi ya kamu harus mengembalikan utang mu + bunganya (ya begitulah kenyataan).
Nah, akumulasi modal ditunjukan agar roda perputaran ekonomi (dalam hal ini Negara) menjadi lebih efisien dan terakselerasi, sebab dengan modal yang banyak kita dapat menjalankan roda perekonomian dengan lebih baik sebab kita memiliki akumulasi modal yang banyak. Itulah mengapa langkah yang dilakukan negara untuk meningkatkan akumulasi modalnya ialah dengan berhutang (menerbitkan Surat Utang Negara/SUN atau obligasi negara). Jadi perlu diketahui ya, caranya negara utang tu ga sama kayak ente kalo utang ke pinjol. Secara umum caranya negara berhutang tu dengan menerbitkan surat hutang negara/obligasi pembhasannya pan kapan aja yak.
Apalagi kebijakan orde pemerintah saat ini (pakde Jokowi) yang ingin mengakselerasi perekonomian Indonesia biar makin cepet jalanya, bahkan di janji kampanye Jokowi periode sebelumnya beliau menargetkan pertumbuhan ekonomi 7% per-tahun dan faktanya selama periode pertama itu pakde cuma bisa merealisasikan sebanyak 5 – 6% doang.
kok bisa gitu? ya salah satu tolok ukut parameternya ialah ICOR atau Incremental Capital of Ratio atau sebuah indeks untuk mengukur tingkat efisiensi suatu investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sederhananya rumus ICOR di dapat dari
ICOR = ΔI/ΔY atau I/Y
dimana I = Investasi dan Y = adalah pertumbuhan ekonomi
Biar agak gampang kita pake indikator sebelum copid yakni pada tahun 2018 dimana ICOR Indonesia sebesar 6,3 dan pertumbuhan ekonomi kita sebesar 5,17% dan pertumbuhan investasi kita 5,3% sedangkan target pertumbuhan ekonomi pakde sebesar 7%. Tingginya nilai ICOR menunjukan bahwa investasi di Indonesia kurang efisien untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Maka perlulah ditambah lagi modal (akumulasi modal) untuk bisa merealisasikan pertumbuhan Indonesia sebesar 7%.
ICOR = ΔI/ΔY
6,3 = 5,3 – X/ 5,17 – 7
-1,83 (6,3) = 5,17 – X
-11,529 = 5,17 – X
-11,529/5,17 = -X
X = 2,22998066
Sehingga, Indonesia setidaknya membutuhkan lagi tambahan modal sebesar 2,22998066 untuk mendapatkan realisasi pertumbuhan investasi sebsar 7%.
sampe sini antum paham?
MODAL
Nah, pertanyaanya berikutnya darimana dapat tambahan modal itu?ya seperti tadi yang aku sampaikan di atas kalo ga ngutang ya cari investor. Nah, kenyataanya Indonesia mengakumulasi modalnya dalam hal ini menggunakan hutang atau hutang luar negeri yang pada Juli 2019 dilaporkan bahwa Utang Luar Negeri kita sebanyak 395,3 milliar dollar atau jika kita kurskan ke rupiah (dengan asumsi 1 dollar = 15 rb) atau sekitar 5.929,5 Trilun rupiah,,, wididaw,,,,. dah gitu utang luar negeri kita kan mengikuti kurs dollar yang nilainya naik turun dan kayak senam aerobik. Heroiknya ibu menteri keuangan kesayangan kita bu Sri Mulyani masih mengatakan “utang kita masih aman” hmmmmm, bener ga tuh?
Debt to GDP ratio
Asumsi ibu menteri kesayangan kita mengatakan utang kita masih aman karena masih di bawah batas maksimal kita berhutang yakni masih di bawah 60% ( Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003) Debt to GDP ialah rasio perbandingan utang luar negeri kita sama pendapatan negara kita, yang tadi ane bahas kalo di negara kita maksimal utang tu 60% dan debt to GDP kita tahun 2018 an kisaran 29,3% ya anggep aja 30% lah. Sehingga ibu menteri keungan kita masih mengatakan kalo UTANG KITA AMAN. bener ga sih?
Debt to Ekspor ratio
Beberapa pakar ekonomi lainya pada pesemisi nih dengan statment bu menteri yang bilang kalo utang kita aman, karena tolok ukurnya Debt to GDP bukan Debt to Ekspor. Why? karena utang luar negeri kita pake dollar ga masuk dong kalo di samain pake rupiah (kagak apple to apple) sehingga agar lebih objektif ya harus dibandingkan dengan pendapatan ekspor Indonesia dong, karena hasilnya Indonesia ekspor kan dapet duit, nah duitnya itu kan dollar jadi baiknya ukuran itu yang digunakan.
Nah, kata BPS (Badan Pusat Statistika) neraca perdagangan kita defisit (nombok) sebesar 160 juta dollar (asumsi 1 dollar = 15 ribu) atau 2,4 Triliun rupiah. maknanya apa? kita lebih banyak mengimpor daripada mengeskpor. perlu tahu nih, kalo kita impor kan beli barang dari luar negeri dan menggunakan dollar yang menggunakan cadangan devisa kita (cadangan kekayaan negara yang di kurskan dalam dollar). jadi sepanjang tahun 2019 ini negara kita nombokin perdagangan ekspor impor kita sebesar 160 juta dollar tadi tuh.
Cadangan devisa kita per-Juni 2019 sebanyak 123,8 miliar dollar (asumsi 1 dollar = 15 ribu) ya sekitar 1.875 Trilun rupiah. Wuih, kan banyak tuh mas kok ngga dibuat bayar utang aja? hmmmmm, tidak semudah itu alfonso ente mau kita krismon lagi kek tahun 99 gara-gara cadangan devisa kita kurang buat membendung para spekulan dollar.
Intinya kalo kita bandingin utang kita dengan ekspor kta, hmmmmm nampaknya sih agak mengkhawatirkan. Tapi untung saja ibu menteri kita husnudhon billah kita bisa.
Duo Prof. marah-marah
Nah, utang negara kita saat ini banyak difokuskan untuk pembangunan-pembangunan infrastruktur statis (macam kek pelabuhan, jalan, bandara dsb.) bukan infrastruktur dinamis. Artinya pakde Jokowi pengen buat infrastruktur yang dampaknya bisa dirasakan dalam jangka panjang. Nah, ini yang dikritisi oleh Prof. Lincolin Arsyad sama Prof. Mudrajad Kuncoro (duo ekonom yang saya idolakan nih, dari UGieM loh) kalo pembangunan jangka panjang Indonesia jangan pake utang tapi pake tabungan negara. kenapa? karena kalo kita utang kan ada jatuh tempo, nah kalo pas jatuh tempo kita lom bisa bayar gimana? weleh-weleh bisa bisa kek Sri Lanka yang kena debt trap nya Tiongkok alias aset berharga negara bisa hijrah ke asing, hmmm…
Memang secara perhtungan ekonometrika bahwa adanya infrastruktur dapat meningkatkan perekonomian dalam jangka panjang bukan jangka pendek, makan dua prof. tadi mengkritisi harusnya jan pake utang. Ya, sudahlah nasi dah jadi bubur, mau ga mau ya kita hadapi dulu nih kenyataanya kalo negara kita lagi doyang ngutang (berhutang). kalo kata pakde Sandiaga Uno ‘utang gapaa asalkan produktif’
Dampak Utang
Dampak paling nyata kalo kita ngutang ialah kita harus mbayar/nyaur ya kan? terus gimana negara bayar utang? Kalo kata begawan Ekonom Almarhum Milton Friedman ada dua cara
1. Membebankan pajak
2. Cetak duit lagi
Nah, keduanya itu juga ada dampaknya loh…. mau tau? oke, langsung aja
Membebankan Pajak
Pendapatan negara selain dari bisnis yang dikelolal negara (BUMN) adalah dari pajak yang dipungut kepada semua masyarakat dalam rangka pembangunan negara. Nah, sekarang bagaimana ketika negara kita ngutang dan ga bisa bayar? jelas minta pajak ke rakyatnya kan? kalo utangnya banyak? ya minta pajak yang banyak sama rakyatnya lah… Nah logika ini yang sukar dipahami bahwa ketika rakyat (dalam hal ini produsen) menerapkan pajak yang tinggi otomatis harga jual produk produsen makin tinggi, saat harga jual makin tinggi dia tidak kompetitif sehingga pendapatanya menurun. Sehingga ketika negara ingin meningkatkan pendapatanya dengan meningkatkan pajak sebetulnya itu merupakan suatu yang paradoksial. kok bisa? pahami teori pertumbuhan ekonomi terbuka
Y = C+I+G
Y = pertumbuhan ekonomi
C = Konsumsi
I = Investasi
G = Pengeluaran pemerintah
harus dipahami bahwa persamaan ‘C’ adalah hasil pengurangan dari pendapatan masyarakat dikurangi pajak (Income – Tax) atau bahasa lainya EAT (Earning After Tax) misal gini, masyarakat dapet gaji 1 juta pajak 100 ribu berapa upah/gaji rill yang bisa dikonsumsi masyarakat? kan 900 ribu toh.. itulah ketika pemerintah meningkatkan pengeluaranya, (menaikain G) maka sejatinya mereka mengurangi konsumsi masyarakat dan pada akhirnya mereka (pemerintah) yang beranggapan dengan manikan pajak perekonomian akan naik justru sebenarnya hanya akan stag/tetap ga naik ga turun atau dalam bahasa lainya ialah steady state.