Islam Rahmatan Lil Alamin
Awal mula Nabi Muhammad Rosulullah ﷺ menerima misi
kenabian sebagai penutup para nabi dan rasul serta menyempurnakan Islam pada umat
terdahulu dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), misi kenabian tersebut mulanya
hanya bersifat terbatas yang dalam hal ini adalah para penduduk kabilah yang
ada Makkah. Sebagaimana friman-NYA,
وَأَنذِرْ
عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ
“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”
QS.
As-Syua’ara:214
Dalam banyak kitab tafsir populer, ayat ini menandai
tonggak awal dakwah Rosulullah ﷺ secara terbuka. Sebelum itu dakwah yang
disampaikan secara tertutup dan dari mulut ke mulut, menjadi ajakan terbuka
yang dalam hal ini mengajak segenap suku yang ada di Makkah seperti bani Qurois,
bani Mutollib, bni Abudl Mannaf dan sekitarnya. Dalam kurun waktu 10 tahun dakwah
Rosulullah ﷺ yang ada Makkah kian mandeg bahkan banyak rintangan, Rosulullah
ﷺ kemudian diminta untuk ber-hijrah dan mendakwahkan Islam secara luas,
sehingga turunlah ayat
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا
“Dan
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada seluruh manusia sebagai
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.”
QS.
As-Saba:28
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ
“Dan
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
alam.”
QS.
Al-Anbiya:107
Kedua
ayat tersebut menjadi penegas bahwasanya, Rosulullah ﷺ adalah nabi dan rosul
untuk semua umat manusia, semua suku, semua kabilah, semua ras yang ada di
dunia ini sampai hari akhir kelak. Konsekuensi atas hal tersebut ialah muatan
agama yang Rosulullah ﷺ bawa menjadi bermuatan global, tidak sesempit berbasis
kesukuan atau etnis tertentu, dan relevan sepanjang zaman.
Sebab
itulah kitab Al-Qur’an yang Rosulullah ﷺ bawa sebagai firman-NYA mengatur
secara poko soal kehidupan manusia seperti bertauhid, beribadah, dan berakhlakul
karimah. Hal itulah yang menjadikan, bilamana Islam dijalankan secara paripurna
kehidupan manusia di muka bumi ini menjadi rahmat/anugerah untuk semesta
alam.
“Keterbatasan Al-Qur’an”
Tentu,
frasa “terbatas” di sini bukan bermakna Al-Qur’an adalah kitab yang mala/cacat/kekurangan.
Sebab Al-Qur’an sendiri diwahyukan untuk umat manusia sebagai pedoman yang
pokok bukan ensiklopedia yang berisi banyak hal.
وَلَوْ
أَنَّمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ مِن شَجَرَةٍ أَقۡلَـٰمٞ وَٱلۡبَحۡرُ يَمُدُّهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦ
سَبۡعَةُ أَبۡحُرٖ مَّا نَفِدَتۡ كَلِمَـٰتُ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
“Dan
seandainya semua pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambah
tujuh laut lagi sesudah itu, niscaya tidak akan habis (dituliskan) kalimat
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
QS. Luqman:27
Sehingga,
tuntunan praktis bagi umat manusia yang kala itu ketungguan Rosulullah ﷺ
adalah dengan melihat sunnah-sunnah-nya baik apa yang beliau sabdakan,
beliau lakukan, dan beliau ikrarkan yang bisa kita ketahui keaslinnya dari riwayat-riwayat
hadis yang dinilai sahih/autentik oleh ulama-ulama yang kredibel. Selain
itu, dengan “keterbatasan” Al-Qur’an itu sendiri menjadikan berkembangnya ruang
bagi ijtihad. Hal tersebut dikarenakan, kalau semua hukum dijelaskan rinci
dalam Al-Qur’an, syariat bisa terasa kaku. Sehingga dalam menjawab persoalan
zaman yang kian berubah, lahirlah peran ijtihad baik oleh para Ulama dan
Umaro yang berkapasitas untuk menyesuaikan perkembangan zaman dengan tetap
berpegang teguh pada maqsid syariah (tujuan syariat).
Jalan Panjang Penafsiran
Sumber
Islam yang utama, Al-Qur’an, selesai terdokumentasikan tidak sampai 50 tahun
pasca wafatnya Rosulullah ﷺ. Bahkan upaya tersebut sudah terjadi saat Rosullah ﷺ
masih hidup walau prosesi terdokumentasinya terjadi secara sporadis yang menyebabkan
potongan-potongan fragmen Al-Qur’an baik yang terpatri pada objek tertentu
(seperti batu, tulang, dan dedaunan) dan hafalan individu para Sohabat belum
terekonstruksi secara utuh. Upaya integrasi semua fragmen Al-Qur’an tersebut, dimulai
saat era Kholifah Abu Bakar dan selesai pada era Utsman bin Affan. Karena hal
tersebut, Al-Qur’an yang kita terima hari ini dapat dibuktikan keabsahannya.
Penelitian ilmiah yang mutakhir menjelaskan manuskrip Al-Qur’an tertua yang disebut
Manuskrip Al-Quran Brimingham menujukkan keakuratan 99,99% seperti Al-Qur’an
hari ini.
Berbeda
dengan Al-Hadist yang justru dimulai pengkodifikasiannya lebih kurang 100 tahun
dari era kenabian (era tabi’in) yang diprakarsai di era Kekhalifahan
Umar bin Abdul Aziz (era Ummayah). Keterlambatan pencatatan dan kodifikasi
hadist ini dikarenakan kehati-hatian para Sohabat dan ulama di era tersebut
agar firman Allah tidak bercampur dengan yang lain. Sebagaimana hadis di bawah
ini
«لَا تَكْتُبُوا
عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ، وَحَدِّثُوا عَنِّي
وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ»
“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa menulis
sesuatu selain Al-Qur’an dariku, maka hapuslah. Sampaikanlah hadis dariku,
tidak mengapa. Tetapi barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, maka
hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
HR.
Muslim
Selain
itu, penelitian soal keautentikan hadis ini menjadi tema ilmu tersendiri seperti
ilmu rijalul hadis yang meneliti kapasitas para periwayat hadis sehingga
layak/tidaknya suatu periwayatan hadis tersebut diterima.
Perkara
berkikutnya ialah, dalam sebuah momentum entah itu sabda Nabi, sebuah kejadian,
bahkan secercah momen tertentu dalam sebuah babak riwayat menjadi banyak sekali
produk-produk hukum Islam (fiqih) yang terjadi. Sehingga, dalam perjalanan upaya
umat Islam memahami Islam itu sendiri malah menyebabkan umat Islam sendiri
terfraksi-fraksi dalam berbagai madzhab dalam memahami Islam, yang hari ini
kita kenal dengan Madzhab Fiqih (yang umum ada 4, Syafi’iah, Hambaliah,
Hanafiyah, Malikiyah) kendati kesemua madzhab tersebut secara tujuan adalah
memudahkan umat Islam dalam menjalankan Islam.
Kompilasi Hadis Soal Jenggot dalam Islam
Termasuk
poin yang akan Cak Akbar bahas pada tulisan ini, dimana sebagian ulama dalam membahas
hal tersebut pun juga beragam. Soal Jenggot ada yang menghukumi sunnah/perkara
yang tidak wajib, mubah atau sekedar kebolehan, adapula yang menghukumi
tersebut sebagai perkara wajib yang tidak boleh ditawar.
Perkara
bab Jenggot ini memang tidak terbahas dalam Al-Quran namun terbahas dalam
berbagai sabda Nabi dalam hadis di antaranya,
خَالِفُوا
الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisihilah
orang-orang musyrik, peliharalah jenggot, dan tipiskan kumis.”
HR.
Bukhori dan Muslim
جُزُّوا
الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Potonglah kumis dan panjangkanlah jenggot, bedakanlah
dengan orang Majusi.”
HR. Muslim
مَنْ
لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّ
“Barangsiapa
tidak memotong kumisnya, maka ia bukan termasuk golongan kami.”
HR.
Tirmidzi
مَن تَشَبَّهَ
بِقَومٍ فَهُوَ مِنهُم
“Barangsiapa
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
HR. Abu Daud
Tentu, kalau mengambil
dari kitab hadis induk (seperti kutubisittahi) ada cukup beragam hadis
yang serupa redaksinya dari yang kami jelaskan di atas. Sehingga kata kunci
yang bisa kita peroleh dari kompilasi hadis tersebut adalah
1. perintah panjangkan
jenggot
2. perintah mencukur kumis
3. janganlah sama seperti
orang Ahli Kitab dan Musyrikin
Sehingga,
lazim bilama ulama yang hidup di era-era berkembangnya ilmu hadis dan fiqih banyak
yang berpendapat bahwasanya jenggot adalah hal yang utama bagi laki-laki Muslim
untuk memilikinya. Dalam tulisan cak Akbar kali ini, kami hanya akan memeberikan
pandangan-pandangan lain dalam tema berikut. Tentunya kami berupaya semua
argumentasi yang kami suguhkan berlandaskan dasar dan bukan omong kosong
belaka.
Konteks Hadis
Bila
kita perhatikan runtut waktu/time line dari hadis tersebut, besar
kemungkinan hadis tersebut disabdakan saat Nabi Muhammad berada di Madinah
(setelah hijrah). Terlihat dalam narasi, umat Islam sudah bersinggungan dengan
kepercayaan kuno lokal Madinah kala itu (Yahudi, Nasrani, Majusi). Dimana, pada
saat itu umat Islam sedang dalam semangat purufikasi keimanan dengan
mentauhidkan Tuhan Yang Maha Esa, dimana umat Yahudi yang meyakini ada tuhan
lain seperti latta dan Uzza, umat kristiani dengan trinitasnya,
dan Majusi dengan kepercayaan bahwa api adalah tuhan kebajikannya (ahura
mazda). Sehingga sebagai bentuk ingkar atas perbuatan mereka, Islam memilih
memiliki identitas yang tidak serupa seperti lazimnya mereka kala itu. Dimana,
umat Musyirikin tadi terbiasa memelihara kumis dan sebagai pembeda identitas Rosulullah
memerintahkan laki-laki Muslim untuk berjenggot. Sehingga bila kita memaknai
hadis tersebut secara konteks, hadis tersebut terjadi pada situasional tertentu
dimana umat Islam dilarang menyerupai tindak-tanduknya golongan Musyrikin.
Rambut Androgenik
Sederhananya,
rambut androgenik (nama lainnya rambut terminal) adalah rambut lain yang tumbuh
selain pada kepala pada bagian tubuh-tubuh tertentu seperti pada ketiak, dada, wajah,
dan tempat lain yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon androgen dan
biasanya terjadi saat-saat mulai pubertas.
Lantas,
apa hubungannya dengan tema yang tengah kita bahas? Dalam hal ini Cak Akbar
menemukan artikel yang cukup menarik tentang pesebaran jenis rambut androgenik
di seluruh penjuru dunia. Artikel lengkapnya bisa di baca di sini https://en-academic.com/dic.nsf/enwiki/2427062#cite_note-Hindley-18
. Dalam artikel tersebut terdapat peta pesebaran sebagai berikut
Bila
kita amati, manusia yang ada di bumi ini memiliki karakter rambut androgenik
yang berbeda-beda tingkatnya. Ada yang di bawah 5% bahkan sampai di atas 70%.
Secara garis besar, manusia yang terkategorikan sebagai ras Kaukasian dan Timur
Tengah memiliki tingkat rambut androgenik yang banyak sampai 50% ke atas.
Sedangkan manusia dengan kategori Mongloid (umunya penduduk Asia), Negroid (umumnya
Afrika) bahkan manusia yang ada di alaska/kutub sana memiliki tingkat rambut
androgenik yang rendah.
Hal
tersebut berdampak, manusia yang terkategorikan ras Mongloid dan Negroid tidak
begitu banyak memiliki rambut yang tumbuh pada area tertentu seperti di wajah,
dada, dan ketiak. Bila kita cari di pramban seperti google manusia Asia
seperti orang Tiongkok, Filipina, Afrika, Bahkan Indonesia umumnya tidak
terlalu banyak rambut di area wajahnya. Berbeda dengan manusia di Timur Tengah
dan Eropa dimana mereka memiliki banyak rambut di wajah seperti jenggot. Sehingga,
jika hadis tersebut dipaksakan bahwa setiap laki-laki Islam harus berjenggot
menjadi dipaksakan dikarenakan tidak semua manusia secara genetik itu seragam. Padahal
soal syariat Allah sudah berpesan
لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
QS.
Al-Baqoroh:286
Memaknai Secara Moderat
Bila
kita memahami lebih dalam sabda Rosul tadi, menjadi relevan dengan temuan
ilmiah atas bentuk genetika manusia. Seperti ulasan sebelumnya bahwa masyarakat
yang hidup di sekitaran Timur Tengah secara genetik rambut androgenik mereka
cenderung lebih banyak, yang dalam hal ini bisa kita artikan secara alami
mereka ini sudah pasti berjenggot dan berkumis. Hanya saja, Rosul memerintahkan
agar yang dibiarkan tumbuh adalah jenggotnya dan memangkas kumis. Adapun
manusia di belahan bumi lain yang tingkat rambut androgenik yang rendah tidak
perlu memaksakan dikarenakan secara alami rambut mereka tidak bisa tumbuh.
Konsekuensi
kalau kita memaknai berjenggot itu wajib, menjadikan ibadah tersebut dipaksakan
dan menjadi celah orang-orang yang menggunakan hadis tersebut untuk mengambil
keuntungan duniawi seperti menjual obat penumbuh jenggot agar sesuai sunnah
yang padahal konteks hadist tersebut bisa dimaknai situasional. Adapaun jika
memang menghendaki berjenggot dengan alasan-alasan tertentu seperti ingin
tampil maskulin (misalnya) ya sah-sah saja selama hal tersebut tidak.
Selain
itu, Islam juga mengajarkan keindahan dan kebersihan dimana sampai soal rambut-pun
Islam juga memerintahkan untuk memuliakannya. Sebagaimana hadis di bawah ini
مَنْ
كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ
“Barang
siapa yang mempunyai rambut, maka hendaklah ia memuliakannya (merawatnya dengan
baik).”
HR.
Abu Daud
Jenggot
termasuk rambut, dan tentu Rosulullah ﷺ perintah agar dimuliakan seperti merawatnya
dengan bersih, rapi, dan tidak dibiarkan kusut. Adapula hadis lain,
إِنَّ
اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya
Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
HR.
Muslim
Sehingga
dalam perkara memotong jenggot bisa dibenarkan dalam rangka memuliakan rambut
itu sendiri. Sebagaimana yang pernah dilakukan Sohabat Umar bin Khatab
وَكَانَ
ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
“Dan
Ibnu ‘Umar apabila berhaji atau berumrah, beliau menggenggam jenggotnya, lalu
apa yang lebih dari genggaman itu (maka) dipotongnya.”
HR.
Bukhori
Penutup
Tentu,
dalam tulisan ini kami hanya bermaksud memberikan sudut pandang lain akan tema
tersebut, dimana kami juga menghormati
pendapat yang mewajibkan perkara tersebut namun agar dapat dipahami bahwa Islam
tidak hanya diturunkan untuk bangsa arab saja, kendati Rosulullah ﷺ adalah sosok
yang lahir dan berdakwah di jazirah arab, bukan berarti umatnya ini harus
seperti orang arab. Seperti yang kami singgung di awal bahwa Islam ini untuk
seluruh umat manusia dan sudah jadi sunnatullah bahwa Allah menciptakan
manusia ini bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dimana puncak perintahnya adalah
untuk saling mengenal. Tulisan ini tentu jauh dari kata sempurna masukkan, kritik, dan saran terbuka lebar.
Sekian
semoga ada manfaatnya,
Yogyakarta,
29 September 2025
#KataCakAkbar

