Pendahuluan
Secara
bahasa, hasad, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia bermakna iri dan
dengki. Iri dan dengki sendiri, merupakan dua istilah yang bermakna berbeda
namun saling berkaitan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), iri bermakna
kurang senang melihat kelebihan orang lain sedangkan dengki bermakna menaruh
perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada
keberuntungan orang lain. Sedangkan hasad menurut hemat kami, definisi
yang cukup mewakilkan adalah perkataan Imam Ibnu Rajab,
الحسد
هو بغض نعمة الله على المحسود وتمني زوالها
“Hasad
adalah membenci nikmat yang dimiliki orang lain dan mengharapkan nikmat itu
hilang darinya.”
Perkara
hasad ini tidak main-main, bahkan, bila kita pahami terjadinya
pembunuhan manusia pertamakali lantaran adanya perasaan hasad dimana
Qabil membunuh saudaranya Habil lantaran tidak terima hanya kurbannya Habil
yang diterima, sedangkan dia tidak.
فَطَوَّعَتْ
لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka
hawa nafsunya menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dia
membunuhnya; maka jadilah dia termasuk orang-orang yang merugi.”
QS. Al-Maidah:30
عَنِ
ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا، إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ
مِنْ دَمِهَا، لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ."
Dari
Ibnu Mas'ud, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang dibunuh
secara zalim, melainkan anak Adam yang pertama (Qabil) akan mendapat bagian
dari darahnya, karena dialah orang yang pertama kali mencontohkan pembunuhan.”
HR. Bukhori
Bahkan,
walau hasad adanya di dalam hati tapi dia menjadi racun yang bila tidak
segera tertangani kian lama akan menjadi berbahay dan merusak tubuh. Tidak
sekedar merusak tubuh, rasa hasad yang terus tertanam juga bisa merusak amal.
Amal yang semula tertumpuk banyak bisa ludes seketika akibat perbuatan dengki.
Sebagaimana sabda Rosulullah ﷺ
إِيَّاكُمْ
وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah
dengki, karena dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar
kering.”
HR. Abu Daud
Dan
banyak Fimrman Allah dan Hadis Rosul yang serupa itu, namun dalam tulisan cak
Akbar kali ini bukan hal tersebut sebagai fokus utamanya. Kendati demikian,
dalam islam ada “hasad” yang secara syar’i dibolehkan bahkan cenderung
dianjurkan.
Ghibtoh
Berkebalikan
dari hasad yang bernuansa negatif, lawan dari kata ini adalah ghibtoh
yang sederhananya para Ulama mendefiniskannya sebagai “dengki yang positif”.
Bagaimana bisa dengki bisa dikatakan positif? Semiklah hadis dari Rosulullah ﷺ
di bawah ini
لَا حَسَدَ
إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ
فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak
boleh hasad kecuali pada dua hal: seseorang yang diberi harta oleh Allah
lalu ia gunakan di jalan yang benar (infaq dan membela fii sabilillah),
dan seseorang yang diberi hikmah (ilmu) lalu ia menegakkan dan mengajarkannya.”
HR.
Bukhori dan Muslim (mutaffaqun alaih)
Dalam
hadis tersebut, Rosulullah ﷺ menggunakan diksi “hasad” yang
diperbolehkan. Beliau ﷺ memulai dengan kalimat “tidak boleh hasad
kecuali…” yang secara eksplisit berarti “hasad” itu diperbolehkan
asalkan pada dua hal tersebut. Itulah mengapa para Ulama menjelaskan maksud hasad
dari sabda Rosul ini menjadi Ghibtoh. Ghibtoh sendiri secara
istilah bermakna
تمني
مثل ما للغير من النعمة من غير زوالها عنه
Berangan-angan
(berharap) senang memiliki suatu kenikmatan orang lain tanpa berharap
kenikmatan orang lain tersebut hilang
Berbeda
dengan pengertian hasad yang konotasinya negatif yakni SMS (Susah
melihat orang lain senang dan Senang Melihat orang lain Susah).
Kembali
ke konteks hadis, dalam sabda tersebut Rosulullah membolehkan seseorang
memiliki angan-angan/krentek e ati ingin punya kenikmatan seperti orang
lain dimana mereka itu orang kaya lagi dermawan (wong sugih arto lagi lomo)
dan seorang yang alim dan dia bisa menerapkan lagi mengajarkan ilmunya.
Fastabiqul Khoirot
Islam
mengajarkan boleh, seseorang saling unggul-unggulan/fastabiqul khoirot
asalkan dalam rangka menjadi yang lebih baik. Menjadi lebih baik arahnya ialah
mencari/menggapai ridho ilahi bukan (sekedar) mencari ridho manusia
(pencitraan, cari muka, dan sejenisnya).
Dengan
bertujuan mencari ridho Allah, seseorang akan berproses dalam menggapainya dengan
hal-hal yang Allah ridhoi. Sebaliknya, walau tujuannya baik namun bila tujuannya
dicampuri dengan niat yang tidak karena Allah (mencari pengakuan manusia saja)
bisa jadi dia akan mengambil jalan-jalan pintas yang tidak Allah ridhoi.
Sebagai
conotoh, seseorang ingin dipandang menjadi orang kaya yang dermawan. Sebab dia
mencampuri niatnya (niat karena Allah dan niat mencari pengakuan manusia)
proses menggapainya (bisa jadi) dilalui dengan cara yang tidak baik seperti (oknum)
seorang pejabat (misalnya) yang melakukan korupsi lalu hasil korupsinya
digunakan untuk membangun Masjid dan bersedekah. Walau sepintas dia terlihat
dermawan, bila tujuannya juga sekedar mencari pengakuan manusia maka semua itu
tidak ada artinya. Ingatlah sabda Rosulullah ﷺ di bawah ini,
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ رَجُلًا
غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ، مَا لَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا
شَيْءَ لَهُ. فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا شَيْءَ
لَهُ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا،
وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ.
Dari
Abu Umamah rodiyallahu anhu ia berkata: Ada seorang laki-laki datang
kepada Nabi ﷺ lalu bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang
berperang karena mengharap pahala dan juga ingin disebut-sebut (dipuji orang)?
Apa yang ia peroleh?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Ia tidak mendapatkan apa-apa.”
Beliau mengulanginya tiga kali, lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
menerima amal kecuali yang murni (ikhlas) dan yang dilakukan hanya untuk
mencari wajah-Nya.”
HR.
Sunan An-Nasai
Islam
mengajarkan setiap umatnya untuk terus berbuat kebaikan, kebaikan yang orang
lain lakukan seharusnya menjadi bara api positif bagi sesalam Mukminin yang
lain agar dia (setidaknya) bisa sepertinya. Simaklah kisah Sohabat Umar bin
Khatab radiyallahu anhu yang termotivasi oleh semangatnya Sohabat Abu Bakar
radiyallahu anhu yang gemar bersedekah. Sampai-sampai Sohabat Umar ini
ingin sekali mengungguli sedekahnya Abu Bakar, hingga pada akhirnya Sohabat
Umar kalah saing dengan sedekahnya Abu Bakar. Sebagaimana riwayat hadis di
bawah ini
عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
أَنْ نَتَصَدَّقَ، فَوَافَقَ ذَلِكَ عِنْدِي مَالٌ، فَقُلْتُ: الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا
بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا. فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ: «مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟» قُلْتُ: مِثْلَهُ. قَالَ: وَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ
مَا عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟» قَالَ:
أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ. قَالَ عُمَرُ: فَقُلْتُ: لَا أُسَابِقُكَ إِلَى
شَيْءٍ أَبَدًا.
Dari
Umar bin Khattab , ia berkata: “Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk
bersedekah. Saat itu aku memiliki harta, maka aku berkata (dalam hati): ‘Hari
ini aku akan mengalahkan Abu Bakar, jika ada saat aku bisa mengalahkannya.’
Maka aku membawa setengah dari hartaku. Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apa yang kau
sisakan untuk keluargamu?’ Aku menjawab: ‘Sebanyak yang aku bawa ini.’
HR.
Abu Daud
Bukan
sebaliknya, ketika ada saudara Mukminin bisa banyak berbuat baik malah
memandangnya dengan tatapan sinis, tapan kebencian, bahkan ber-suudzon
yang tidak berdasar. Padahal yang namanya orang Iman itu saling mencintai pada
sesamanya
لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak
sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
HR. Muslim
Cinta/senang
di sini, termasuk ketika ada sesama Mukminin berbuat baik dia senang dan bahkan
termotivasi agar kelak dia bisa seperti itu.
“Tidak
sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Penutup
Akhirnya,
dengan ikut senang melihat orang lain berbuat baik menjadikan orang-orang yang
terinspirasi atasnya juga akan tergerak untuk ikut berbuat baik. Dengan semakin
banyak orang berbuat baik menjadikan di bumi ini banyak manusia berbuat baik.
Jika di bumi ini banyak manusia berbuat baik, kehidupan di dunia ini bak
kehidupan surga dunia yang indah damai dan tentram.
Memang,
dalam hadis sebelumnya Rosulullah membolehkan “hasad” kepada dua
kelompok yakni hamba kaya lagi dermawan dan hamba berilmu lagi berintegritas atas
ilmunya. Namun, lebih luas kebaikan-kebaikan yang orang lakukan kita pun juga
boleh untuk “hasad” atau lebih tepatnya termotivasi agar kita bisa
seperti orang baik tersebut. Jangan bermental kepiting (crab mentality),
kalau aku tidak bisa begini orang lain juga harus tidak bisa. Maka, memiliki
hati yang baik adalah kunci vital yang dengannya menjadi penentu apakah jiwa
ini adalah jiwa yang bersih atau tidak
أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah
seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal
daging itu adalah hati.”
HR.
Bukhori
Sekian,
semoga ada manfaatnya
Yogyakarta,
16 September 2025
#KataCakAkbar
