√ Menyoal Soal Tinggi Nabi Adam عَلَيْهِ ٱلسَّلَام - Cak Akbar

Menyoal Soal Tinggi Nabi Adam عَلَيْهِ ٱلسَّلَام

Daftar Isi [Tampil]

     



    Menyoal Soal Tinggi Nabi Adam عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ

    Pendahuluan

    Mafhum diketahui bahwasanya intisari ajaran Islam berkutat pada tiga hal yakni,

    1. Perintahnya kita kerjakan sak pol kemampuan kita

    2. larangan kita jauhi sejauh-jauhnya

    3. Ceritanya kita yakini seyakin-yakinnya

    Terhadap perintah-NYA seperti mengimani Allah beserta sifatnya, Rosul-Rosulnya, Malaikatnya, ajaran yang dibawa nabi-NYA, dan perintah-perintah lainnya sebagai hamba yang beriman mutlak hukumnya untuk dikerjakan semaksimal kemampuan hamba atau dalam bahasa jawa sak pol kemampuan. Sebagaimana firman-NYA

    فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

    “Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian”
    QS. At-Taghobu:16

    Ayat tersebut merupakan pengganti hukum/nasikh dari Surat Ali-Imron ayat 102 yang berbunyi

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
    “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya...”

    Sebab, saat turunnya ayat tersebut (QS. Ali-Imron:102) praktis, banyak kaum mukiminin merasa terbebani dikarenakan tidak sanggup selama 24 jam penuh menjadi hamba yang tanpa cela, kemudian turunlah ayat pengganti hukum dimana hamba yang beriman diperintahkan untuk bertakwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangannya) dengan sekuat mampunya.

    Untuk larangan, Islam mengajarkan untuk menjauhi sejauh-jauhnya. Bahkan, jangan sesekali mencoba mendekati sumbu pemercik dosa/larangan tersebut, sebab hamba yang terjatuh ke dalam dosa biasanya dimulai dari meremehkan dosa-dosa yang kecil. Sebagaimana sabda Rosulullah ﷺ

    إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا بَطْنَ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ

    “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena perumpamaan dosa-dosa kecil itu seperti suatu kaum yang singgah di lembah, lalu datang seseorang membawa sepotong kayu, dan yang lain juga membawa sepotong kayu, hingga terkumpullah kayu yang banyak, lalu mereka menyalakan api dan membakar roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil, apabila dikumpulkan pada seseorang, niscaya akan membinasakannya.”
    HR. Ahmad

    Sedangkan terhadap cerita-cerita, kisah-kisah yang ada dalam ajaran Islam baik yang tertera dalam Al-Qur’an maupun yang Rosulullah ﷺ sabdakan dan dinilai otentik (sohih) oleh sebagian besar ulama (masyhur) sebagai sabdanya, tentu sebagai hamba yang beriman mutlak hukumnya untuk meyakini, seyakin-yakinnya. Kendati, cerita yang ada mungkin saja sukar diterima nalar seperti banjir bah di era Nabi Nuh, Rosulullah ﷺ yang melakukan perjalanan Isra’ wal mi’raj, dan dalam tulisan yang akan Cak Akbar bahas kali ini termasuk berita bahwasanya tinggi nabi Adam yang disebut bapak para manusia (abbul basyar) adalah 30 meter.

    Berita Tinggi Nabi Adam 30 Meter

    Di Al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit, tidak ditemukan berita tentang karakteristik nabi Adam baik rupa, bentuk badan, termasuk tingginya. Yang kita ketahui dari kisah Nabi Adam dalam Al-Qur’an hanyalah peristiwa penciptaanya, dosa yang diperbuat sehingga dia dan isterinya diturunkan ke bumi, dan kisah berkelahi dua puteranya. Adapun ciri-ciri fisik dan kakateristiknya nabi Adam banyak ditemukan dalam hadis dan riwayat-riwayat isroilliyat lainnya. Dalam tulisan ini saya kesampingkan riwayat-riwayat yang lemah dan tidak jelas asal-usulnya, argumentasi kami hanya menggunakan hadis yang diduga kuat benar bersumber dari Rosulullah ﷺ.

    Bahkan, saat peristiwa Rosulullah ﷺ isro’ wal mi’raj (hadis dilampirkan di akhir) yang pada langit pertama Rosulullah bertemu Nabi Adam, beliau tidak merinci bagaimana bentuk fisik, wajah, termasuk tinggi badan, yang beliau rincikan malah nabi yang lain seperti Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Ibrohim alaihimussalam.

    وَرَأَيْتُ مُوسَى، فَإِذَا هُوَ رَجُلٌ ضَرْبٌ مِنَ الرِّجَالِ، كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ.
    وَرَأَيْتُ عِيسَى بْنَ مَرْيَمَ، فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ.
    وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ، فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ - يَعْنِي نَفْسَهُ ﷺ

    Aku melihat Mūsā, ia seorang laki-laki berkulit sawo matang, seperti orang-orang kabilah Shanū’ah.
    Aku melihat ‘Īsā bin Maryam, orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas‘ūd.
    Aku melihat Ibrāhīm, dan orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini (yakni diriku sendiri ﷺ).
    HR. Bukhori

    Sebaliknya, kisah penciptaan nabi Adam berada di hadis yang terpisah dari hadis tentang peristiwa isra’ wal mi’raj sebagaimana hadis di bawah ini

    خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ: اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ، فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، فَقَالُوا: السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، فَزَادُوهُ: وَرَحْمَةُ اللَّهِ، فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ، فَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدُ حَتَّى الآنَ

     “Allah menciptakan Ādam sesuai dengan bentuknya. Tingginya enam puluh hasta (± 30 meter). Setelah menciptakannya, Allah berfirman: ‘Pergilah, ucapkan salam kepada para malaikat itu, lalu dengarkan jawaban mereka, karena itu adalah salam bagimu dan bagi keturunanmu.’ Maka Ādam pun berkata: ‘Assalāmu ‘alaikum,’ para malaikat menjawab: ‘Assalāmu ‘alaika wa raḥmatullāh.’ Mereka menambahkan wa raḥmatullāh. Maka setiap orang yang masuk surga akan seperti bentuk Ādam, tetapi makhluk senantiasa berkurang (tingginya) sampai sekarang.”

    HR. Bukhori dan Muslim (muttafaqun alaih)

    Jika kita perhatikan, hadis tersebut diriwayatkan oleh dua Ahli Hadis yang terkemuka dan kredibilitasnya sudah tidak diragukan lagi sepanjang masa yakni Imam Bukhori dan Imam Muslim yang biasa oleh para pembelajar hadis disebut hadis yang muttafaqun alaihi (متفق عليه) dimana Imam Bukhori dan Muslim bersepakat atas keautentikan isi hadis (matan) dan jalur rantai periwayatan (isnad). Sehingga sebagai hamba yang beriman, tentunya mutlak meyakini bahwasanya hadis tersebut adalah benar pernah disabdakan oleh Rosulullah ﷺ, dan tentu apa yang Rosul sabdakan adalah wahyu darinya

    وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ  إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

    “Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut keinginannya (hawa nafsunya). Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

    QS. An-Najm 3-4

    Mengapa 30 Meter?

    Dalam pembukaan hadis tersebut, Rosulullah ﷺ menjelaskan bahwa ketika Allah menciptakan Nabi Adam tingginya adalah 60 dhiro. Perlu diketahui bahwasanya dhiro ini adalah satuan ukur masyarakat (khususnya) arab kala itu. Sehingga jika dikonversikan ke dalam ukuran yang lazimnya masyarakat Indonesia, bahwa 1 dhiro itu setara dengan ½ meter. Sehingga jika dikonversikan ke dalam satuan ukur lazimnya masyarakat Indonesia maka tinggi nabi Adam adalah 30 meter.

    Tentu, ukuran pasti dhiro ini tidak sepenuhnya akurat namun kami merujuk dari ensiklopedia kamus bahasa arab modern, Kairo, Mesir. Mendefinisikan dhiro sebagai berikut

    الذِّرَاعُ هو مقدارُ ما بين مِرْفَقِ الإنسان وطَرَفِ أصابِعِه،

    dhiro adalah jarak antara siku manusia hingga ujung jarinya”

    Dalam beberapa perbedaan mengenai ukuran pasti dhiro dalam satuan modern (meter/centimeter) sebagai berikut,

    مقدار الذراع:
    عند الحنفية:(46.375) سم.
    وعند المالكية: (53) سم.
    وعند الشافعية والحنابلة: (61.834) سم.
    ولقد اختلف طول الذراع، ومن ثم تعددت أسماؤه، زماناً ومكاناً، واشتهر منه:
    · الذراع الإسلامبولي العثماني: وهو يزيد عن الذراع الهاشمي خمسة قراريط ونصف قيراط. وهو يساوي من المتر 0.677.

    Perkiraan ukuran dhiro

    Menurut mazhab Hanafi: (46.375) cm.
    Menurut mazhab Maliki: (53) cm.
    Menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali: (61.834) cm.
    ukuran dhiro telah bervariasi, sehingga namanya pun bertambah banyak, sesuai dengan waktu dan tempat.

    Sehingga jika kita ambil tengah-tengah ukuran 1 dhiro kurang lebih ½ meter Atau masyarakat Indonesia menyebutnya hasta.

    Debat Panjang Dogma dan Ilmiah

    Sebagaimana penjelasan di awal bahwasanya sebagai mukmin, mutlak hukumnya meyakini cerita dalam Islam seyakin-yakinnya. Namun, seiring berkembangnya peradaban dan ilmu pengetahuan manusia terasa sukar untuk sepenuhnya mengimani bahwa apa yang Rosul sabdakan (tentang nabi Adam) tersebut dapat diterima secara nalar, kiranya dengan beberapa alasan argumen ilmiah di antaranya,

    1. Timeline/urut waktu nabi Adam sampai hari ini

    Jika kita merunut kisah nabi-nabi yang diceritakan dalam Al-Qur’an jarak nabi Adam sampai Nabi Muhamamd tidak sampai 100.000 tahun (asumsi ditambah dari beberapa kisah isroilliyat yang cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Kisah para Nabi karya Imam Ibnu Katsir). Dalam teori ilmiah modern waktu tersebut terlalu singkat digunakan manusia untuk melakukan evolusi, dimana dalam hadis diceritakan tinggi nabi Adam 30 meter dan terus menyusut ke anak turunnya sampai sekarang.

    2. Bukti arkeologi/artefak

    Peradaban tertua manusia yang berhasil diidentifikasi hari ini adalah Gobelki Tepei yang berada di Turki dan diperkirakan berusia 14.000-18.000 tahun yang lalu. Dari bukti arkeologi tersebut menunjukkan peninggalan manusia kala itu (berupa alat sesembahan dan sebagainya) berukuran normal seperti yang digunakan manusia modern saat ini. Bahkan jika merujuk pada manusia purba (manusia yang secara teknis tidak bisa disebut sebagai “manusia” dalam konteks hari ini) seperti Homo Neandhertalensis dan Homo Erectus yang secara usia berjarak 140.000-150.000 tahun pun juga berukuran normal (tidak gigantik/berukuran besar).

    Peralatan Batu Berkaitan dengan Kebangkitan Homo Erectus | Evolusi Manusia  | Live Science

    Perkakas batu era Homo Erectus

    Sehingga secara saintifik bukti keberadaan nabi Adam secara sejarah yang terdokumentasikan bisa dikategorikan sebagai ahistori yang sederhananya bermakna tokoh yang keberadaannya tidak bisa dibuktikan secara sejarah, baik melalui bukti arkeologis, dokumen sejarah, maupun catatan ilmiah.

    3. Hukum Kuadrat-Kubik (Square-Cube Lawi)

    Sederhananya hukum ini merupakah hukum alam (realitas yang terikat oleh hukum-hukum alam seperti jatuh itu ke bawah, lompat itu ke atas) dimana ketika suatu benda diperbesar, luas permukaannya hanya bertambah sesuai kuadrat dari perbesaran, sedangkan volumenya (dan massanya) bertambah sesuai kubiknya. Artinya, jika ukuran benda dibuat dua kali lebih besar, luas permukaannya bertambah empat kali, tetapi volumenya bertambah delapan kali. Dengan bahasa awam, hukum ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran sesuatu, beratnya akan bertambah jauh lebih cepat daripada luas permukaannya.

    Terdengar rumit? Mari kami sederhanakan dengan contohnya,

    Analogi sederhananya dengan ember, ada ember kecil dan ember besar. Ember yang kecil jika diisi dengan air penuh akan mudah diangkat sedangkan ember yang besar jika diisi penuh akan lebih susah diangkat. Itulah gambaran sederhana hukum alam ini dimana semakin besar ukuran suatu objek (makhluk hidup) maka beratnya naik jauh lebih besar dibandingkan kekuatannya.

    Masih sukar dipahami? Kita gunakan studi kasus, dalam sejarah manusia, tokoh manusia yang tercatat paling tinggi adalah Robert Wadlow asal Amerika Serikat dengan tinggi 2,7 meter. Dia lahir tahun 1918 dan meninggal tahun 1940 (22 tahun).

    Mengenang Kisah Manusia Tertinggi Robert Wadlow

     Sedangkan manusia tertinggi yang masih hidup saat ini adalah Sultan Kosen asal Turki yang saat ini berusia 42 tahun dengan tinggi 2,5 meter.

    Foto Stok Editorial Exclusive Turk Sultan Kosen Who Current - Gambar Stok |  Shutterstock Editorial

    Bisa anda perhatikan perbedaanya? Kedua manusia tinggi ini harus berjalan menggunakan tongkat!, kenapa? Sesuai hukum alam tadi semakin besar suatu objek (dalam hal ini tinggi) tubuhnya semakin berat menahan bebannya sehingga tulang dan ototnya harus bekerja ekstra lebih keras untuk bisa menopang tubuh yang besar seperti itu dan ditambah lagi tubuhnya tidak bisa/mampu bergerak secara bebas.

    Bandingkan juga makhluk hidup tertinggi di bumi yang tercatat (dalam hal ini fosil) adalah Sauroposeidon proteles yang setinggi 16-18 meter dimana dia memerlukan adanya ekor untuk membantu keseimbangan serta jumlah kakinya yang empat (quardpedal) yang berfungsi untuk membuat tubuhnya dapat bergerak secara bebas


    Bahkan jika kita melihat makhluk hidup yang tinggi-tinggi hari ini sepert Jerapah, dia berdiri menggunakan empat kaki (quardpedal)

    Mengenal Jerapah, Mamalia Tertinggi dari Benua Afrika
    sehingga akan melawan hukum alam jika ada makhluk yang berjalan dengan dua kaki (bipedal) yang dapat bergerak bebas dengan tinggi yang super besar seperti itu.

    Tentu banyak lagi argumen-argumen saintifik lainnya yang tidak mendukung adanya makhluk berkaki dua (dalam hal ini manusia) yang setinggi 30 meter bisa hidup di bumi

    Mendamaikan Islam dan Sains

    Sekilas, argumentasi sains sebelumnya seakan-akan menafikkan hadis Rosul tadi dan seakan-akan menolak mengimani sabda Nabi bahwa tinggi nabi Adam adalah 30 meter. Lantas bagaimana menyikapi kesemuanya ini?

    1. Hermeneutika Hadis

    Hermeneutika secara sederhana dimaknai penafsiran. Tentu penafsiran ini beraneka ragam produknya walaupun berada pada satu perkataan maupun satu peristiwa. Kalau kita bicara konteks ajaran Islam penafsiran itu terkadang ada yang Allah dan Rosulnya sendiri yang menafsirkan, adapula Sohabat Rosul yang menafsirkan adapula yang dapat ditafsirkan menurut pemahaman masing-masing individu. Tentu jika hal tersebut perkara perintah-larangan, halal-haram, wajib-tidak wajib harus mengikuti penafsiran yang baku dan otoritatif. Jika tidak demikian umat pasti akan rusak dan semaunya sendiri dalam beribadah. Contoh, dalam

    وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًۭا فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

    “Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa), maka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

    QS. Al-Baqoroh:184

    Kalau ayat di atas setiap orang bebas menafsirkan maka, jika seseorang berat menjalankan puasa Romadhon dia boleh tidak puasa dengan syarat harus membayar ffidyah (memberi makan 1 orang miskin), bahkan puasa pun di sini seakan-akan menjadi hal yang opsional. Maka penafsiran ayat seperti ini haruslah berdasarkan ijma/konsensu para Ulama sepanjang zaman dan ditekankan oleh pihak yang otoritatif (ulil amri).

    Sebaliknya, ayat atau hadis yang pemaknaannya bisa meluas dalam kaidah hermeneutika hadis dibolehkan dalam konteks aktualisasi. Bagaimana dalam penerapannya?

    Dalam hadis tadi (tentang nabi Adam) disebutkan

    خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ

    “Allah menciptakan nabi Adam sesuai dengan bentuknya…”

    Premis sabda nabi ini menjadi kunci, bahwa tatkala Allah menciptakan nabi Adam, Allah menciptakannya pada bentuk asalnya. Pertanyaannya, dimanakah Allah menciptakan nabi Adam? Ya, betul dilangit. Tentu kalau kita bicara kata “langit” tidak akan berlaku hukum fisika yang berada di dunia. Dimana di langit hukum yang berlaku di sini adalah hukum Allah, dimana Allah bebas berkehendak dalam kehendak-NYA.

    أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ، إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِمِائَةِ سَنَةٍ

    “Telah diizinkan bagiku untuk menceritakan tentang salah satu malaikat Allah dari malaikat-malaikat pemikul ‘Arsy, jarak antara cuping telinganya hingga pundaknya sejauh perjalanan tujuh ratus tahun.”

    HR. Abu Daud

    Tentu, kalau kita sudah bicara “langit” hukum-hukum alam dunia ini sudah tidak berlaku. Sehingga apa yang Nabi Sabdakan ini benar secara premis dimana saat di Allah pertamakali menciptakan nabi Adam betnuk awalnya adalah 60 dhiro atau 30 meter di langit sana.

    2. Teori Evolusi

    Di akhir sabdanya, Rosulullah ﷺ mengatakan

    فَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدُ حَتَّى الآنَ…

    “maka tidak henti-hentinya (terus) (tinggi) keturunan nabi Adam menyusut sampai sekarang”

    sampai hari ini, belum ada teori evolusi yang paripurna mengenai bagaimana manusia modern/Homo Sapiens ini bisa ada? Bahkan menurut kajian paleoantropologi (ilmu tentang manusia purba) setelah kepunahan manusia purba seperti Homo Neanderthalensis  dan Homo Denisova seakan-akan hilang missing link begitu saja dan “tiba-tiba saja” muncul manusia modern/Homo Sapiens. Tentu argumen ini bisa dimasukkan dalam narasi teologi dimana pada akhirnya Allah menurnkan nabi Adam dalam kondisi yang sudah berbentuk seperti manusia saat ini.

    Penutup

    Tentu, sedikit tulisan Cak Akbar ini belum tentu dapat memuaskan hasrat keingintahuan kita atas keajaiban dunia ini dan bagaimana kita mengatikan realitas yang ada dengan dogma (ajaran Islam) yang sudah mengakar kuat. Maka sikap husnudhon billah perlu di kedepankan. Jangan sedikit-dikit mengklaim bahwa Islam itu tidak ilmiah atau Islam itu membawa ketertinggalan. Justru sepenggal hadis nabi tadi memperkuat teori evolusi nya Darwin abad ke-18, dimana jauh sebelum Darwin, Nabi menjelaskan bahwa alam semesta itu adaptif, berkembang, dan tidak statis (diam). Hal tersebut terbukti di dunia ini walau semula nenek moyangnya satu Nabi Adam bisa menjadikan banyak ras yang ada di bumi ini.

    Justru, sabda Nabi tentang tinggi nabi Adam adalah 30 meter adalah benar saat Allah menciptakannya di langit sana, dan tingginya terus menyusut, saat Allah turunkan ke bumi sudah berbentuk manusia modern seperti sekarang ini.

    Pada intinya banyak fenomena alam yang belum bisa manusia sibak, tentu saja pada akhirnya kita ini makhluk terbatas lagi tak berdaya

    وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًۭا

    “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
    QS. Al-Isro:85

    Akhirnya, soal tinggi nabi Adam berapa itu bukan jadi persoalan utama dikarenakan bapak kita sudah dijanjikan tempat yang kekal abadi berupa surga kelak bila beriman dan beramal solih, maka tugas kita mengupayakan bagaimana kita bisa pulang kampung ke kampung kita yang hakiki

    وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

    “Padahal kampung akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

    QS. Al-A’la:17

     

    Wawlahu a’lam bisshoab

    Sekian semoga ada manfaatnya…

    Yogyakarta, 28 September 2025

     

    #KataCakAkbar


    Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

    Hai

    Klik Kontak Whatsapp Di Bawah Ini Untuk Mulai Mengobrol

    Pemilik Cak Akbar
    +6282136116115
    Call us to +6282136116115 from 0:00hs a 24:00hs
    Hai, ada yang bisa saya bantu?
    ×
    Tanya Kami