Menyoal
Soal Tinggi Nabi Adam عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ
Pendahuluan
Mafhum
diketahui bahwasanya intisari ajaran Islam berkutat pada tiga hal yakni,
1.
Perintahnya kita kerjakan sak pol kemampuan kita
2.
larangan kita jauhi sejauh-jauhnya
3.
Ceritanya kita yakini seyakin-yakinnya
Terhadap
perintah-NYA seperti mengimani Allah beserta sifatnya, Rosul-Rosulnya,
Malaikatnya, ajaran yang dibawa nabi-NYA, dan perintah-perintah lainnya sebagai
hamba yang beriman mutlak hukumnya untuk dikerjakan semaksimal kemampuan hamba
atau dalam bahasa jawa sak pol kemampuan. Sebagaimana firman-NYA
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian”
QS. At-Taghobu:16
Ayat
tersebut merupakan pengganti hukum/nasikh dari Surat Ali-Imron ayat 102
yang berbunyi
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
takwa kepada-Nya...”
Sebab,
saat turunnya ayat tersebut (QS. Ali-Imron:102) praktis, banyak kaum mukiminin merasa
terbebani dikarenakan tidak sanggup selama 24 jam penuh menjadi hamba yang
tanpa cela, kemudian turunlah ayat pengganti hukum dimana hamba yang beriman
diperintahkan untuk bertakwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangannya) dengan
sekuat mampunya.
Untuk
larangan, Islam mengajarkan untuk menjauhi sejauh-jauhnya. Bahkan, jangan
sesekali mencoba mendekati sumbu pemercik dosa/larangan tersebut, sebab hamba
yang terjatuh ke dalam dosa biasanya dimulai dari meremehkan dosa-dosa yang
kecil. Sebagaimana sabda Rosulullah ﷺ
إِيَّاكُمْ
وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَمَثَلِ قَوْمٍ
نَزَلُوا بَطْنَ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، حَتَّى أَنْضَجُوا
خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ
“Jauhilah
dosa-dosa kecil, karena perumpamaan dosa-dosa kecil itu seperti suatu kaum yang
singgah di lembah, lalu datang seseorang membawa sepotong kayu, dan yang lain
juga membawa sepotong kayu, hingga terkumpullah kayu yang banyak, lalu mereka
menyalakan api dan membakar roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil, apabila
dikumpulkan pada seseorang, niscaya akan membinasakannya.”
HR. Ahmad
Sedangkan
terhadap cerita-cerita, kisah-kisah yang ada dalam ajaran Islam baik yang
tertera dalam Al-Qur’an maupun yang Rosulullah ﷺ sabdakan dan dinilai otentik
(sohih) oleh sebagian besar ulama (masyhur) sebagai sabdanya, tentu sebagai
hamba yang beriman mutlak hukumnya untuk meyakini, seyakin-yakinnya. Kendati,
cerita yang ada mungkin saja sukar diterima nalar seperti banjir bah di era
Nabi Nuh, Rosulullah ﷺ yang melakukan perjalanan Isra’ wal mi’raj, dan
dalam tulisan yang akan Cak Akbar bahas kali ini termasuk berita bahwasanya
tinggi nabi Adam yang disebut bapak para manusia (abbul basyar) adalah
30 meter.
Berita Tinggi Nabi Adam 30 Meter
Di
Al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit, tidak ditemukan berita
tentang karakteristik nabi Adam baik rupa, bentuk badan, termasuk tingginya.
Yang kita ketahui dari kisah Nabi Adam dalam Al-Qur’an hanyalah peristiwa
penciptaanya, dosa yang diperbuat sehingga dia dan isterinya diturunkan ke bumi,
dan kisah berkelahi dua puteranya. Adapun ciri-ciri fisik dan kakateristiknya nabi
Adam banyak ditemukan dalam hadis dan riwayat-riwayat isroilliyat
lainnya. Dalam tulisan ini saya kesampingkan riwayat-riwayat yang lemah dan tidak
jelas asal-usulnya, argumentasi kami hanya menggunakan hadis yang diduga kuat
benar bersumber dari Rosulullah ﷺ.
Bahkan,
saat peristiwa Rosulullah ﷺ isro’ wal mi’raj (hadis dilampirkan di akhir)
yang pada langit pertama Rosulullah bertemu Nabi Adam, beliau tidak merinci
bagaimana bentuk fisik, wajah, termasuk tinggi badan, yang beliau rincikan malah
nabi yang lain seperti Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Ibrohim alaihimussalam.
وَرَأَيْتُ
مُوسَى، فَإِذَا هُوَ رَجُلٌ ضَرْبٌ مِنَ الرِّجَالِ، كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ.
وَرَأَيْتُ عِيسَى بْنَ مَرْيَمَ، فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ
بْنُ مَسْعُودٍ.
وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ، فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ
- يَعْنِي نَفْسَهُ ﷺ
Aku
melihat Mūsā, ia seorang laki-laki berkulit sawo matang, seperti orang-orang
kabilah Shanū’ah.
Aku melihat ‘Īsā bin Maryam, orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah
bin Mas‘ūd.
Aku melihat Ibrāhīm, dan orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat
kalian ini (yakni diriku sendiri ﷺ).
HR. Bukhori
Sebaliknya,
kisah penciptaan nabi Adam berada di hadis yang terpisah dari hadis tentang
peristiwa isra’ wal mi’raj sebagaimana hadis di bawah ini
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ، طُولُهُ سِتُّونَ
ذِرَاعًا، فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ: اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ مِنَ
الْمَلَائِكَةِ، فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ، فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ
ذُرِّيَّتِكَ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، فَقَالُوا: السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ، فَزَادُوهُ: وَرَحْمَةُ اللَّهِ، فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى
صُورَةِ آدَمَ، فَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدُ حَتَّى الآنَ
“Allah menciptakan Ādam sesuai dengan
bentuknya. Tingginya enam puluh hasta (± 30 meter). Setelah menciptakannya,
Allah berfirman: ‘Pergilah, ucapkan salam kepada para malaikat itu, lalu
dengarkan jawaban mereka, karena itu adalah salam bagimu dan bagi keturunanmu.’
Maka Ādam pun berkata: ‘Assalāmu ‘alaikum,’ para malaikat menjawab: ‘Assalāmu
‘alaika wa raḥmatullāh.’ Mereka menambahkan wa raḥmatullāh. Maka setiap orang
yang masuk surga akan seperti bentuk Ādam, tetapi makhluk senantiasa berkurang
(tingginya) sampai sekarang.”
HR.
Bukhori dan Muslim (muttafaqun alaih)
Jika
kita perhatikan, hadis tersebut diriwayatkan oleh dua Ahli Hadis yang terkemuka
dan kredibilitasnya sudah tidak diragukan lagi sepanjang masa yakni Imam
Bukhori dan Imam Muslim yang biasa oleh para pembelajar hadis disebut hadis
yang muttafaqun alaihi (متفق عليه) dimana Imam Bukhori
dan Muslim bersepakat atas keautentikan isi hadis (matan) dan jalur
rantai periwayatan (isnad). Sehingga sebagai hamba yang beriman,
tentunya mutlak meyakini bahwasanya hadis tersebut adalah benar pernah
disabdakan oleh Rosulullah ﷺ, dan tentu apa yang Rosul sabdakan adalah wahyu
darinya
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا
وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan
tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut keinginannya (hawa nafsunya).
Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
QS.
An-Najm 3-4
Mengapa 30 Meter?
Dalam
pembukaan hadis tersebut, Rosulullah ﷺ menjelaskan bahwa ketika Allah menciptakan
Nabi Adam tingginya adalah 60 dhiro. Perlu diketahui bahwasanya dhiro
ini adalah satuan ukur masyarakat (khususnya) arab kala itu. Sehingga jika
dikonversikan ke dalam ukuran yang lazimnya masyarakat Indonesia, bahwa 1 dhiro
itu setara dengan ½ meter. Sehingga jika dikonversikan ke dalam satuan ukur
lazimnya masyarakat Indonesia maka tinggi nabi Adam adalah 30 meter.
Tentu,
ukuran pasti dhiro ini tidak sepenuhnya akurat namun kami merujuk dari ensiklopedia
kamus bahasa arab modern, Kairo, Mesir. Mendefinisikan dhiro sebagai
berikut
الذِّرَاعُ
هو مقدارُ ما بين مِرْفَقِ الإنسان وطَرَفِ أصابِعِه،
“dhiro
adalah jarak antara siku manusia hingga ujung jarinya”
Dalam
beberapa perbedaan mengenai ukuran pasti dhiro dalam satuan modern
(meter/centimeter) sebagai berikut,
مقدار
الذراع:
عند الحنفية:(46.375) سم.
وعند المالكية: (53) سم.
وعند الشافعية والحنابلة: (61.834) سم.
ولقد اختلف طول الذراع، ومن ثم تعددت أسماؤه، زماناً ومكاناً، واشتهر منه:
· الذراع الإسلامبولي العثماني: وهو يزيد عن الذراع الهاشمي خمسة قراريط ونصف قيراط.
وهو يساوي من المتر 0.677.
Perkiraan ukuran dhiro
Menurut
mazhab Hanafi: (46.375) cm.
Menurut mazhab Maliki: (53) cm.
Menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali: (61.834) cm.
ukuran dhiro telah bervariasi, sehingga namanya pun bertambah banyak,
sesuai dengan waktu dan tempat.
Sehingga jika kita ambil tengah-tengah ukuran 1 dhiro kurang lebih ½ meter Atau masyarakat Indonesia menyebutnya hasta.
Debat Panjang Dogma dan Ilmiah
Sebagaimana
penjelasan di awal bahwasanya sebagai mukmin, mutlak hukumnya meyakini cerita dalam
Islam seyakin-yakinnya. Namun, seiring berkembangnya peradaban dan ilmu pengetahuan
manusia terasa sukar untuk sepenuhnya mengimani bahwa apa yang Rosul sabdakan
(tentang nabi Adam) tersebut dapat diterima secara nalar, kiranya dengan
beberapa alasan argumen ilmiah di antaranya,
1.
Timeline/urut waktu nabi Adam sampai hari ini
Jika
kita merunut kisah nabi-nabi yang diceritakan dalam Al-Qur’an jarak nabi Adam sampai Nabi Muhamamd tidak sampai 100.000 tahun (asumsi ditambah dari beberapa
kisah isroilliyat yang cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Kisah para
Nabi karya Imam Ibnu Katsir). Dalam teori ilmiah modern waktu tersebut terlalu
singkat digunakan manusia untuk melakukan evolusi, dimana dalam hadis diceritakan
tinggi nabi Adam 30 meter dan terus menyusut ke anak turunnya sampai sekarang.
2.
Bukti arkeologi/artefak
Peradaban
tertua manusia yang berhasil diidentifikasi hari ini adalah Gobelki Tepei
yang berada di Turki dan diperkirakan berusia 14.000-18.000 tahun yang lalu.
Dari bukti arkeologi tersebut menunjukkan peninggalan manusia kala itu (berupa
alat sesembahan dan sebagainya) berukuran normal seperti yang digunakan manusia
modern saat ini. Bahkan jika merujuk pada manusia purba (manusia yang secara
teknis tidak bisa disebut sebagai “manusia” dalam konteks hari ini) seperti Homo
Neandhertalensis dan Homo Erectus yang secara usia berjarak
140.000-150.000 tahun pun juga berukuran normal (tidak gigantik/berukuran
besar).
Perkakas
batu era Homo Erectus
Sehingga
secara saintifik bukti keberadaan nabi Adam secara sejarah yang
terdokumentasikan bisa dikategorikan sebagai ahistori yang sederhananya
bermakna tokoh yang keberadaannya tidak bisa dibuktikan secara sejarah, baik
melalui bukti arkeologis, dokumen sejarah, maupun catatan ilmiah.
3.
Hukum Kuadrat-Kubik (Square-Cube Lawi)
Sederhananya
hukum ini merupakah hukum alam (realitas yang terikat oleh hukum-hukum alam
seperti jatuh itu ke bawah, lompat itu ke atas) dimana ketika suatu benda
diperbesar, luas permukaannya hanya bertambah sesuai kuadrat dari perbesaran,
sedangkan volumenya (dan massanya) bertambah sesuai kubiknya. Artinya, jika
ukuran benda dibuat dua kali lebih besar, luas permukaannya bertambah empat
kali, tetapi volumenya bertambah delapan kali. Dengan bahasa awam, hukum ini
menunjukkan bahwa semakin besar ukuran sesuatu, beratnya akan bertambah jauh
lebih cepat daripada luas permukaannya.
Terdengar
rumit? Mari kami sederhanakan dengan contohnya,
Analogi
sederhananya dengan ember, ada ember kecil dan ember besar. Ember yang kecil
jika diisi dengan air penuh akan mudah diangkat sedangkan ember yang besar jika
diisi penuh akan lebih susah diangkat. Itulah gambaran sederhana hukum alam ini
dimana semakin besar ukuran suatu objek (makhluk hidup) maka beratnya naik jauh
lebih besar dibandingkan kekuatannya.
Masih
sukar dipahami? Kita gunakan studi kasus, dalam sejarah manusia, tokoh manusia
yang tercatat paling tinggi adalah Robert Wadlow asal Amerika Serikat dengan
tinggi 2,7 meter. Dia lahir tahun 1918 dan meninggal tahun 1940 (22 tahun).
Sedangkan manusia tertinggi yang masih hidup
saat ini adalah Sultan Kosen asal Turki yang saat ini berusia 42 tahun dengan
tinggi 2,5 meter.
Bisa
anda perhatikan perbedaanya? Kedua manusia tinggi ini harus berjalan
menggunakan tongkat!, kenapa? Sesuai hukum alam tadi semakin besar suatu objek
(dalam hal ini tinggi) tubuhnya semakin berat menahan bebannya sehingga tulang
dan ototnya harus bekerja ekstra lebih keras untuk bisa menopang tubuh yang
besar seperti itu dan ditambah lagi tubuhnya tidak bisa/mampu bergerak secara
bebas.
Bandingkan
juga makhluk hidup tertinggi di bumi yang tercatat (dalam hal ini fosil) adalah
Sauroposeidon proteles yang setinggi 16-18 meter dimana dia memerlukan adanya
ekor untuk membantu keseimbangan serta jumlah kakinya yang empat (quardpedal)
yang berfungsi untuk membuat tubuhnya dapat bergerak secara bebas
Bahkan jika kita melihat makhluk hidup yang tinggi-tinggi hari ini sepert
Jerapah, dia berdiri menggunakan empat kaki (quardpedal)
sehingga akan melawan hukum alam jika ada makhluk yang berjalan dengan dua kaki
(bipedal) yang dapat bergerak bebas dengan tinggi yang super besar
seperti itu.
Tentu
banyak lagi argumen-argumen saintifik lainnya yang tidak mendukung adanya
makhluk berkaki dua (dalam hal ini manusia) yang setinggi 30 meter bisa hidup
di bumi
Mendamaikan
Islam dan Sains
Sekilas,
argumentasi sains sebelumnya seakan-akan menafikkan hadis Rosul tadi dan
seakan-akan menolak mengimani sabda Nabi bahwa tinggi nabi Adam adalah 30
meter. Lantas bagaimana menyikapi kesemuanya ini?
1.
Hermeneutika Hadis
Hermeneutika
secara sederhana dimaknai penafsiran. Tentu penafsiran ini beraneka ragam
produknya walaupun berada pada satu perkataan maupun satu peristiwa. Kalau kita
bicara konteks ajaran Islam penafsiran itu terkadang ada yang Allah dan
Rosulnya sendiri yang menafsirkan, adapula Sohabat Rosul yang menafsirkan
adapula yang dapat ditafsirkan menurut pemahaman masing-masing individu. Tentu
jika hal tersebut perkara perintah-larangan, halal-haram, wajib-tidak wajib
harus mengikuti penafsiran yang baku dan otoritatif. Jika tidak demikian umat
pasti akan rusak dan semaunya sendiri dalam beribadah. Contoh, dalam
وَعَلَى
ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًۭا
فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa), maka wajib membayar fidyah,
yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.”
QS.
Al-Baqoroh:184
Kalau
ayat di atas setiap orang bebas menafsirkan maka, jika seseorang berat
menjalankan puasa Romadhon dia boleh tidak puasa dengan syarat harus membayar ffidyah
(memberi makan 1 orang miskin), bahkan puasa pun di sini seakan-akan menjadi
hal yang opsional. Maka penafsiran ayat seperti ini haruslah berdasarkan ijma/konsensu
para Ulama sepanjang zaman dan ditekankan oleh pihak yang otoritatif (ulil amri).
Sebaliknya,
ayat atau hadis yang pemaknaannya bisa meluas dalam kaidah hermeneutika hadis
dibolehkan dalam konteks aktualisasi. Bagaimana dalam penerapannya?
Dalam
hadis tadi (tentang nabi Adam) disebutkan
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ
“Allah
menciptakan nabi Adam sesuai dengan bentuknya…”
Premis
sabda nabi ini menjadi kunci, bahwa tatkala Allah menciptakan nabi Adam, Allah
menciptakannya pada bentuk asalnya. Pertanyaannya, dimanakah Allah menciptakan
nabi Adam? Ya, betul dilangit. Tentu kalau kita bicara kata “langit” tidak akan
berlaku hukum fisika yang berada di dunia. Dimana di langit hukum yang berlaku
di sini adalah hukum Allah, dimana Allah bebas berkehendak dalam kehendak-NYA.
أُذِنَ
لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ،
إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِمِائَةِ سَنَةٍ
“Telah
diizinkan bagiku untuk menceritakan tentang salah satu malaikat Allah dari
malaikat-malaikat pemikul ‘Arsy, jarak antara cuping telinganya hingga
pundaknya sejauh perjalanan tujuh ratus tahun.”
HR.
Abu Daud
Tentu,
kalau kita sudah bicara “langit” hukum-hukum alam dunia ini sudah tidak
berlaku. Sehingga apa yang Nabi Sabdakan ini benar secara premis dimana saat di
Allah pertamakali menciptakan nabi Adam betnuk awalnya adalah 60 dhiro
atau 30 meter di langit sana.
2.
Teori Evolusi
Di
akhir sabdanya, Rosulullah ﷺ mengatakan
فَلَمْ
يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدُ حَتَّى الآنَ…
“maka tidak henti-hentinya (terus) (tinggi) keturunan nabi Adam menyusut sampai sekarang”
sampai hari ini, belum ada teori evolusi yang paripurna mengenai bagaimana
manusia modern/Homo Sapiens ini bisa ada? Bahkan menurut kajian
paleoantropologi (ilmu tentang manusia purba) setelah kepunahan manusia purba seperti
Homo Neanderthalensis dan Homo
Denisova seakan-akan hilang missing link begitu saja dan “tiba-tiba
saja” muncul manusia modern/Homo Sapiens. Tentu argumen ini bisa
dimasukkan dalam narasi teologi dimana pada akhirnya Allah menurnkan nabi Adam
dalam kondisi yang sudah berbentuk seperti manusia saat ini.
Penutup
Tentu,
sedikit tulisan Cak Akbar ini belum tentu dapat memuaskan hasrat keingintahuan
kita atas keajaiban dunia ini dan bagaimana kita mengatikan realitas yang ada
dengan dogma (ajaran Islam) yang sudah mengakar kuat. Maka sikap husnudhon
billah perlu di kedepankan. Jangan sedikit-dikit mengklaim bahwa Islam itu tidak
ilmiah atau Islam itu membawa ketertinggalan. Justru sepenggal hadis nabi tadi
memperkuat teori evolusi nya Darwin abad ke-18, dimana jauh sebelum Darwin,
Nabi menjelaskan bahwa alam semesta itu adaptif, berkembang, dan tidak statis
(diam). Hal tersebut terbukti di dunia ini walau semula nenek moyangnya satu
Nabi Adam bisa menjadikan banyak ras yang ada di bumi ini.
Justru,
sabda Nabi tentang tinggi nabi Adam adalah 30 meter adalah benar saat Allah
menciptakannya di langit sana, dan tingginya terus menyusut, saat Allah
turunkan ke bumi sudah berbentuk manusia modern seperti sekarang ini.
Pada
intinya banyak fenomena alam yang belum bisa manusia sibak, tentu saja pada
akhirnya kita ini makhluk terbatas lagi tak berdaya
وَمَآ
أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًۭا
“dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
QS. Al-Isro:85
Akhirnya,
soal tinggi nabi Adam berapa itu bukan jadi persoalan utama dikarenakan bapak
kita sudah dijanjikan tempat yang kekal abadi berupa surga kelak bila beriman
dan beramal solih, maka tugas kita mengupayakan bagaimana kita bisa pulang
kampung ke kampung kita yang hakiki
وَالْآخِرَةُ
خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
“Padahal
kampung akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”
QS.
Al-A’la:17
Wawlahu
a’lam bisshoab
Sekian
semoga ada manfaatnya…
Yogyakarta,
28 September 2025
#KataCakAkbar

