Riba Pada Transaksi Jual Beli
Seperti yang sering ditegaskan dalam setiap kajian ekonomi syariah, bahwa prinsip Islam dalam bermuamalah harus terbebas dan bersih dari segala macam bentuk dan jenis riba. Dalam telaah kajian fikih tentang riba, riba itu sendiri terjadi pada kegiatan transaksi ;
(1) Hutang piutang (Riba Jahiliyah & Riba Fad’l)
(2) Perniagaan dengan barang ribawi ( Riba Nasi’ah )
Pada pembahasan kali ini kami hanya akan menguraikan poin pertama yakni tentang riba yang terjadi akibat adanya hutang piutang. Umumnya dalam transaksi yang jahiliyah adalah saat seseorang meminjamkan sejumlah dananya kepada seseorang tertentu kemudian dia meminta penambahan dari pokok pinjamannya inilah yang disebut riba fad’l.
Sedangkan penambahan nilai pokok pinjaman akibat peminjam telat membayar hutangnya saat jatuh tempo inilah yang disebut dengan riba jahiliyah. Sejatinya bentuk hutang piutang itu harus didasarkan pada prinsip saling tolong menolong bukan untuk meraup keuntungan secara batil kepada orang lain.
Selain itu, ada transaksi hutang piutang lainnya yang Rosulullah larang yakni transaksi jual beli dengan hutang, atau lebih tepatnya pemberi hutang menghendaki meminjamkan uangnya/menghutangi dengan syarat penghutang harus menjual barang tertentu kepadanya. Istilah transaksi tersebut dalam kajian ekonomi Islam disebut bai’ wa salaf dan hukumnya haram sebagaimana nash Hadist berikut ini,
… أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
Sesungguhnya Rosulullah صلى الله عليه وسلم bersabda : ‘Tidak halal pinjaman disertai dengan jual beli…’
HR. Annasai no. 4611
dan juga hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud sebagai berikut,
“Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam
satu obyek.”
Beranjak dari nash hadist marfu’ (yang langsung sampai kepada Nabi) dan mursal (hanya sampai kepada Sohabat) tersebut baik Ulama Salaf maupun Ulama Khalaf sepakat bahwasanya jual beli disertai pinjaman hukumnya adalah haram dengan alasan bahwa praktik seperti itu merupakan bentuk rekayasa kredit/rekayasa (riba) terselubung dan mencampurkan akad sosial dengan bisnis.
Praktik Jual Beli Dalam Hutang
Misal, Fulan memberi pinjaman uang kepada Fulanah dengan syarat Fulanah harus menjual sepeda motornya kepada Fulan, atau dengan syarat Fulanah harus membeli sepeda motornya Fulan.
Praktik seperti ini batal, sebab Fulan merekayasa kredit agar mendapat keuntungan dari transaksi hutangnya dengan dalih menjual barang. Dengan kata lain akad Qardh (hutang) menjadi transaksi inti bagi kreditur (pihak yang menghutangi), sedangkan jual beli sebagai pelengkap/alat untuk mendapatkan manfaat. Selain itu debitur (pihak yang berhutang) terpaksa setuju dengan harga jual karena jasa pinjaman.
Lebih dari itu transaksi ini jelas merugikan/menganiyaya salah satu pihak, dalam hal ini pihak debitur. Bagaimana bisa? seperti contoh tadi dia menerima hutangan sebesar 10 juta (misal) dengan syarat menjual motornya (padahal jika dinilai harga motornya itu lebih dari 10 juta) atau dengan syarat debitur harus membeli barang kreditur sebesar 10 juta (misal) padahal harga tersebut terlalu mahal untuk barang yang tidak worth it. Sedangkan pihak kreditur secara terpaksa maupun sukarela harus mengikuti cara seperti ini. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan dalam syariat.
Lantas bagaimana solusinya? disinilah letak hikmah kita sebagai mukmin yang berusaha mematuhi perintah Allah dan utusan-NYA akan diberikan jalan yang terbaik dalam menetapi Taat kepada-NYA
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang mempersungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
QS. Alankabut : 69
SALE & LEASE BACK : Solusi saling menguntungkan tanpa riba
Secara sederhana pengertian sale & lease back adalah praktik menjual kemudian menyewakan kembali dimana pada solusi seperti ini baik pihak kreditur maupun debitur sama-sama diuntungkan. Skema akad ini menggunakan prinsip syariah dengan model Ijarah Muntahiyah Bi Tamlik bagaimana skemanya? akan kami jelaaskan berikut ini.
Misal, si Fulan membutuhkan sejumlah dana kemudian mendatangi Fulanah kemudian sebab akad hutang dan jual beli itu dilarang dalam prinsip syariah maka Fulanah menawarkan kepada Fulan agar dia menjual sepeda motornya dengan harga yang dia ridhoi (misal 10 juta) akhirnya Fulan menjual (SALE) sepeda motornnya kepada Fulanah dan mendapatkan uang 10 juta tersebut dari transaksi jaul beli.
Di sisi lain Fulan sebetulnya masih membutuhkan sepeda motor tersebut, akhirnya Fulanah menyewakan sepeda motor tersebut kepada Fulan ( LEASE BACK ) seharga 1 juta per-bulan selama setahun dari sini Fulanah mendapatkan keuntungan dari hasil menyewakan motornya selama setahun sebanyak 12 juta dari transaksi sewa menyewa. Kemudian di akhir masa sewa (selama setahun) Fulanah berjanji atau wa’d (الوعد ) kepada Fulanah akan menghadiahkan sepeda motor tersebut kepada Fulan. Sebagai catatan perjanjian ini tidak boleh disyaratkan menjadi akad di awal melainkan Fulanah lah yang harus memiliki komitmen ( iltizam) untuk menghibahkan kendaraan tersebut di akhir akad.
Maka dengan skema seperti ini baik Fulan maupun Fulanah sama-sama diuntungkan. Fulan mendapatkan uang 10 juta karena menjual motornya dan dia masih bisa tetap memiliki motornya dengan cara menyewa kepada Fulanah selama setahun dan di akhir masa sewa sepeda motor Fulan kembali kepadanya. Di sisi lain Fulanah juga diuntungkan karena dia mendapatkan selisih margin dari jual beli motornya yakni sebanyak 2 juta rupiah.
SubhanAllah begitu indahnya hasil yang kita dapat saat kita berupaya taat kepada Allah bukan?
Sekian, semoga bermanfaat
Catatan :
Untuk lebih lengkap tentang fatwa sale & lease back syariah dan akad Ijarah Muntahiyah Bi Tamlik bisa merujuk pada
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-TAMLIK
DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 71/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Sale and Lease Back