√ Alternatif Syari'ah Pembiayan Rumah - Cak Akbar

Alternatif Syari'ah Pembiayan Rumah

Daftar Isi [Tampil]

     

    Pendahuluan

    Dilansir dari media daring CNBC Mentri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, mengatakan ke depan penduduk Indonesia kian sulit untuk memiliki rumah. Dalam laporan yang dirilis Survei Harga Properti Residensial (SHRB) Bunga KPR akhir 2020 dan awal 2021 tercatat di kisaran 8,5% dan periode akhir 2021 8,2% dan periode Maret 8,11%. Belum lagi skema Kredit Pembiayaan Rumah (KPR) yang mencapai 15 tahun dimana di awal-awal tahun saja baru melunasi bunganya, baru prinsipal (harga pokoknya) belakangan. Masih dalam survei yang sama, pada Triwulan pertama Indonesia, jumlah penduduk yang membeli rumah secara KPR sebanyak 69,84%, tunai bertahap 21,79%, dan tunai 6,7%. Hal tersebut menunjukkan pembelian rumah secara KPR masih menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia.

    Belum lagi selain adanya riba/bung bank, pembiayaan rumah skema KPR sejatinya terdapat dua akad dalam transaksi tersebut, yakni lease atau sewa dan beli. Saat kita mengajukan KPR, walaupun bahasanya kredit sejatinya rumah tersebut masih menjadi milik bank (teragun oleh bank). Bilamana sampai akhir periode pembiayaan tidak lunas atau terjadi gagal bayar/non-perfoming loan rumah tersebut akan disita oleh bank. Jelas dalam konsep Islam transaksi tersebut batal dikarenakan adanya dua akad dalam satu transaksi jual beli. Sebagaimana sabda Rosulullah

    أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ.

    “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi jual beli.”
    HR. Tirmidzi 

    Solusi Terbaik

    Konsep pembiayaan syari’ah yang ditawarkan dalam ekonomi Islam ada banyak ragam dan alternatif. Pada tulisan ini kami akan mencoba memberi skema/model pembiayaan rumah dengan cara yang syari’ah. Terdapar 3 akad yang lazim digunakan dalam pembiayaan rumah syari’ah yakni,

    A. Murobahah (jual-beli)

    B. Musyarokah Mutanaqisoh (Bekerjasama yang memiliki secara bertahap)

    C. Ijaroh Mumtahiyah Bi At-Tamlik/IMBT (Sewa yang diakhiri dengan kepemilikan)

    Untuk lebih jelasnya kita uraikan di bawah ini,

    Murobahah

    Pada akad ini, akad yang terjadi adalah akad jual beli. Berbeda dengan konsep KPR konvensional dimana sejatinya akad yang terjadi adalah sewa-beli. Pada konsep KPR konvensional, nasabah yang mengajukan KPR dan mengangsur, sejatinya mereka tidak sedang mengangsur harga rumah tersebut melainkan sewa, dikarenakan aset tersebut masih dimiliki oleh pihak debitur/bank. Konsekuensi yang terjadi, ketika terjadi gagal bayar aset tersebut akan ditarik lagi oleh bank namun bila nasabah bisa membayar sampai lunas maka aset tersebut menjadi milik nasabah. Pada konsep murobahah, akad yang terjadi adalah juali beli. Nasabah mengajukan murbahah kepada lembaga keuangan syari’ah. Kemudian lembga keuangan syari’ah tersebut akan membelikan terlebih dahulu rumah yang dimaksud, kemudian menjual kembali kepada nasabah dengan menyebutkan harga pokok rumah tersebut dan berapa margin/keuntungan yang akan diperoleh. Selanjutnya nasabah mengangsur harga rumah tersebut sampai batas waktu yang ditentukan. Pada akad ini, bilaman terjadi gagal bayar (non-perfoming finaning) nasabah hanya berhutang kekurangan pembayrannya kepada bank. Berbeda dengn skema KPR bila terjadi gagal bayar, aset secara sepihak dan menyeluruh disita kembali oleh bank. Pada skema murobahah, rumah tersebut sudah milik nasabah. Bilamana jalan buntu aset harus dijual atau dilelang, nasabah hanya membayar sisa hutang dari harga rumah tersebut.

    Alternatif kegagalan bayar lainnya dapat ditempuh melalui Badan Arbritase Syri’ah Nasional, dimana pihak-pihak yang bersengketa menyelesaikan permasalahannya secara syariat. Jika dibuat tabel, perbedaan skem KPR konvensional dan Murobahah sebagai berikut,


    Musyarokah Mutanaqisoh

    Langsung pada aplikasi penerapannya, pada akad ini kepemilikan rumah adalah saling berbagi (syrikah) antara nasabah dan debitur. Misal, harga sebuha rumah Rp. 600.000.000 (600 juta). Nasabah saat itu hanya memikiki uang Rp.2000.000.000 kemudian nasabah tersebut mengajak bank syari’ah untuk bersyirkah memiki rumah tersebut dengan porsi Rp. 400.000.000. Dengan demikian porsi kepemilikan antara nasabah dan bank syari’ah adalah 1:3. Selanjutnya, agar nasabah dapat dengan sepenuhnya memiliki rumah tersebut bank syari’ah menjual porsi kepemilikan. Dalam kisah di hadist yang diriwayatkan Imam Bukhori, pernah terjadi beberapa sohabat bersyirkah atas suatu kepemilikan budak lalu salah satu di antaranya hendak menjual porsi kepemilikan tersebut. Lalu Rosulullah menganjurkan agar dia menjual porsi kepemilikannya tersebut pada teman syirkahnya.

    Kembali pada kasus rumah, dengan akad ini nasabah secara berangsur-angsur membeli porsi kepemilikan bank syari’ah hingga akhirnya semua porsi kepemilikan dimiliki oleh nasabah. Bank syari’ah sendiri tentu memikiki perhitungan dan memiliki hak berapa besar harga kepemilikannya bila dijual. Konsep ini lebih disukai dikarenakan masing-masing kedua pihak memiliki hak atas suatu aset/rumah. Bila terjadi gagal bayar, nasabah masih memiliki bagian dari kepemilikannya atas rumah tersebut.

    Ijaroh Mumtahiya bi At-Tamlik/IMBT

    Pada akad IMBT ini, menggunakan skema hybrid akadi. Seklilas akan terlihat seperti dua akad namun sejatinya, akad tersebut berjalan secara terpisah. Pada akad ini, nasabah yang hendak memiliki rumah mengajukan pembiayaan kepada bank syari’ah. Selanjutnya bank syari’ah mengadakan aset tersebut dan selanjutnya nasabah melakukan sewa/ijaroh atas aset tersebut. Sampai pada akhir akad, bank syari’ah melakukan janji (‘idad) menyerahkan rumah tersebut kepada nasabah untuk dimiliki ( bi At-Tamlik). Misal, harga rumah tersebut adalah Rp.100.000.000. Nasabah melakukan pembayaran sewa kepada bank syari’ah sebesar Rp.12.000.000 dalam sebulan selama 10 bulan (bank syari’ah mengambil margin Rp.20.000.000). Selanjutnya nasabah mengangsur sampai bulan ke 10. di akhir kontrak masa sewa, bank syari’ah menghadiahkan rumah tersebut kepada nasabah. Sehingga dalam transaksi tersebut, yang terjadi adalah akad sewa setelah akad sewa selesai dibuatkan akad baru lagi yakni bank syari’ah menghadiahkan rumah tersebut kepada nasabah.

    Bila terjadi gagal gayar atau nasabah wan prestasi, bank syari’ah tinggal menarik kembali rumah tersebut karena sedari awal akadnya adalah sewa. Berbeda dengan KPR konvensional, akadnya sebetulnya sewa/lease namun kata tersebut dikemas menjadi “kredit” seakan-akan nasabah sudah memikiki aset tersbut padahal tidak.

    Diskusi Lebih Lanjut & Penutup

    Walaupun secara akad terlihat mudah, praktik yang terjadi di lapangan sanagatlah berbeda jauh dari idealnya. Terlebih isu konflik kepentingan dari Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) sendiri kerap terjadi. Dikarenakan pengangkatan DPS diangkat melalui Musyawarah Para Pemegang Saham (MPPS) lembaga keuangan syari’ah sehingga rawan terjadi ketidak independensian. Karena yang mengangkat DPS dari bank tersebut sehingga rawan DPS tersebut “disetir” atas dasar kepentingan bank syari’ah tersebut wawlahu aklam. Seharusnya, DPS itu sendiri diangkat oleh otoritas tertinggi keuangan di Indonesia bisa dari Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    Kemudian, Indonesia sendiri belum ada indeks kepatuhan syari’ah secara nasional. Sejauh ini hanya baru ada kajian-kajian pada lembaga keuangan syari’ah tertetnu. Padahal indeks tersebut sangat diperlukan untuk mengukur apakah kinerja bank syari’ah sendiri sudah betul-betul sesuai dengan syari’at?

    Skema margin yang digunakan kerap kali menggunakan suku bunga acuan sebagai pertimbangan. Sebetulnya hal tersebut tidak menjadi masalah kalau bukan bunga banknya yang digunakan, namun yang jadi permasalahan skema “bunga” atau margin itu sendiri juga berubah-ubah.

    Pada akhirnya kita yang hidup di akhir zaman ini mau tidak mau tidak akan terlepas dari asapnya riba. Sebagaimaa hadis Rosulullah di bawah ini

    لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى أَحَدٌ إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا فَإِنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ بُخَارِهِ. قَالَ ابْنُ عِيسَى: أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

    Sungguh akan datang satu zaman di tengah umat manusia, tidak ada satupun orang kecuali dia akan makan riba. Jika dia tidak memakannya, setidaknya dia akan terkena asapnya.
    HR. Abu Daud

    Pembahasan ini akan telampau melankolis jika dibahas lebih dalam. Namun tugas kita ialah usaha sebaik mungkin agar tidak terkena riba. Perhatikan firman Allah

    وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

    Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
    QS. Al-Ankabut:69

    Hemat kami, ada yang sudah jelas-jelas riba (tidak menjalankan syari’at) dan ada yang terus berupaya menjadi yang sesuai syari’at mana yang Anda pilih?

    Sekian semoga ada manfaatnya

    Bekasi, 4 Desember 2022

    KataCakAkbar


    الحياة أمل، فمن فقد الأمل فقد الحياة

    Kehidupan itu bergantung pada harapan, siapa yang hilang harapannya, maka hilanglah kehidupannya.

    Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

    Hai

    Klik Kontak Whatsapp Di Bawah Ini Untuk Mulai Mengobrol

    Pemilik Cak Akbar
    +6282136116115
    Call us to +6282136116115 from 0:00hs a 24:00hs
    Hai, ada yang bisa saya bantu?
    ×
    Tanya Kami