MENGENAL SUKUK
AlTERNATIF PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pendahuluan
Pemerintah dalam amanah konstitusional adalah sebagai pelaksana fiskal, dengan maksud lain tugas utama dari pemerintah ialah mengalokasikan setiap anggaran belanja negara se-efisien dan se-efektif mungkin guna pemabangunan dan kesejahteraan nasional. Anggaran pemerintah dinamakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan serangkaian pendapatan yang diterima negara entah melalui pajak, hibah, pendapatan non-pajak, dan pendapatan lainnya yang sah. Sedangkan pengeluaran pemerintah dialokasikan ke banyak sektor pemerintahan dan setiap kementrian. Dalam amanah konstitusi Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 ijelaskan bahwa
"anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Prioritas
Dikarenakan pemerintah sejatinya hanya berkutat dalam menerima dan mengalokasikan anggaran, sehingga acap kali pemerintah harus membuat skala prioritas dalam mengalokasikan setiap rupiah yang ada. Prioritas itu biasa diumumkan setiap tahun pada akhir tahun berjalan dalam postur APBN yang disampaikan oleh Menteri Keuangan. Akhirnya selalu ada pos-pos belanja yang bisa jadi mengalami kenaikan anggaran atau bahkan pengurangan anggaran. Dalam teori ekonomi madzhab Keynsian kebijakan defisti anggaran diperlukan guna mengakselerasi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa pemerintah yang hanya berkutat dengan anggaran terkadang menghadapi kenyataan, ketika anggaran yang diperlukan untuk kegiatan pembangunan kurang (defisit). Maka alternatif pemerintah dalam membiayai semua itu dengan melakukan utang negara. Utang negara itu sendiri ada banyak bentuknya, dapat berbentuk Utang Luar Negeri (ULN) yang biasanya berupa kontrak perjanjian proyek tertentu, atau pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi.
Obligasi
Jika diterjemahkan, obligasi adalah surat utang. Tidak jauh berbeda dari pengertian utang pada umumnya, hanya saja utang ini dapat diperjual belikan dalam pasar efek (pasar yang memperjual belikan sekurtitas). Konsep obligasi adalah, pemerintah menerbitkan surat hutang dalam nominal dan jumlah surat tertentu yang kemudian surat tersebut akan dibeli oleh umum (bisa pribasi masyarakat, badan, atau bahkan luar negri) dengan jangka waktu/tenor tertentu (biasanya selama 10 tahun) yang kemudian pada akhir periode, pemilik surat utang tersebut akan dikembalikan nominal utang ditambah bunga.
Bagi sebagian investor, bentuk berinvestasi di surat utang pemerintah/obligasi cenderung lebih stabil dikarenakan uang yang mereka terima di akhir kontrak tetap sama bahkan ditambahkan dengan bunga. Konsep ini serupa dengan utang pada bank konvensional dimana pihak yang memberi utang akan menerima nominal utang ditambah bunga. Namun yang unik dari obligasi adalah, surat utang tersebut dapat diperjualbelikan kepemilikannya, misal saja saat ini saya memiliki surat utang/obligasi yang senilai Rp.10.000.000 dengan tenor 10 tahun dan bunga floating rate 5%. Baru berjalan 3 tahun, saya menjual surat utang tersebut seharga nominal Rp. 10.000.000 ditambah bunga 5%, menjadi Rp. 10.500.000 dan dibeli oleh kawan saya. Kawan saya yang membeli tadi berharap, di tahun tahun berikutnya bunga floating rate nya bisa lebih dari 5%.
Sukuk/Obligasi Syari’ah
Sebagaimana diketahui, cara di atas jelas tidak sejalan dengan konsep syari’ah dimana adanya akad bunga/riba di dalamnya. Dalam kaidah fiqhiyah
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba.”
Jelas, sebaik apapun tujuannya yang namanya utang tidak bisa dibenarkan adanya pengambilan manfaat/keuntungan di dalamnya sekecil apapun. Sebagaimana nasihat Abdulullah Bin Salam, dalam kita Sohih Bukhori
إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ، أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ، أَوْ حِمْلَ قَتٍّ، فَلاَ تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
“Sesungguhnya engkau berada pada suatu negeri yang riba tersebar pada (negeri) tersebut. Apabila engkau memiliki hak (piutang) terhadap seseorang, kemudian orang itu menghadiahkan sepikul jerami, sepikul gandum, atau sepikul makanan ternak kepadamu, janganlah engkau ambil karena itu adalah riba.”
Surat Berharga Syari’ah Negara (SBSN)
Islam adalah pedoman hidup manusia yang selalu memberikan solusi, tidak hanya sekedar melarang namun banyak solusi-solusi terbaik dan adil di dalamnya. Secara prinsip/kiadah dalam setiap kegiatan duniawi interaksi antar manusia/muamalah adalah boleh,
والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم
Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.
Dikarenakan Islam melarang adanya praktik riba bagaimanapun bentuk dan tujuannya, maka para Ulama dan Ekonom Muslim di era kontemporer ini memperkenalkan beragam alternatif untuk menghindari riba yakni dengan adanya konsep Surat Berharga Syari’ah Negara (SBSN).
Surat Berharga Syari’ah Negara memiliki beberapa istilah yang sama seperti obligasi syari’ah dan yang lebih dikenal adalah sukuk. Apa yang membedakan model ini dengan konvensional, terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
Pertama, dari sifat instrumennya, obligasi adalah surat utang. Sedangkan sukuk adalah sertifikat atas kepemilikan atau pembelian aset serta manfaat atas aset atau jasa/proyek/investasi tertentu.
Kedua, sukuk harus memiliki underlying asset atau aset yang dijadikan dasar penerbitan sukuk sebagai bukti kepemilikan investor atasnya. Sedangkan obligasi tidak harus memiliki underlying asset.
Ketiga, obligasi dijalankan oleh penerbit (emiten) tidak dibatasi atau dibebaskan (boleh non halal). Sedangkan sukuk harus dikelola dan pendapatan yang dihasilkan adalah halal atau tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Keempat, imbalan bagi pemegang sukuk dapat balance, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk. Sedangkan pada obligasi, ketidakseimbangan atas memberikan utang berbentuk bunga (kupon).
Kelima, mekanisme sukuk diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah yang berada di bawah MUI selama masa penerbitan. Karenanya, sukuk terdapat tambahan biaya (fee) untuk upah Dewan Pengawas Syariah.
Jadi, perbedaan secara mendasar antara sukuk dan obligasi adalah, kalau obligasi adalah utang sedangkan sukuk berbentuk kerjasama, bagi hasil, dan keuntungan marjin.
Akad-Akad Dalam Obligsi Syari’ah
Dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) MUI NO: 69/DSN-MUI/VI/2008 terdapat beberapa jenis akad yang ada dalam skema sukuk
a. Ijarah;
b. Mudharabah;
c. Musyarakah;
d. Istishna’;
e. Akad lain sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Selain itu, terdapat akad lainnya dalam fatwa DSN-MUI NO: 76/DSN-MUI/ VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset to be Leased dan fatwa DSN-MUI NO: 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA (SBSN) ijaroh sale and lease back.
Penjelasan
Dalam sub bagian ini, kami hanya membahas secara teknis bentuk akad dari sukuk dan tidak menjelaskan secara detail konsep dari akad tersebut.
Pada bentuk akad mudhorobah dan musyarokah, pemilik sukuk bertindak sebagai pemilik modal dan pemerintah sebagai pihak yang melaksanakan amanah pemilik modal (dengan membuat proyek) dalam skema mudhorobah. Pada skema musyarokah pemerintah dan pemilik sukuk sama-sama bekerjasama sebagai pemilik modal dalam pengerjaan suatu proyek tertentu. Sehingga produk imbal hasil dalam skema ini adalah bagi hasil (profit loss-sharing).
Pada konsep ijaroh atau sewa dan istishna atau pesanan, pemerintah dalam hal ini “menyewa” aset yang dimiliki pemilik sukuk, karena pada hakikatnya pengadaan aset pemerintah tersebut adalah dari pemilik sukuk, sehingga pemerntah yang menggunakan harus membayar sewa kepada pemilik sukuk. Biasnaya bentuk skema ini adalah berupa prosentase yang akan dibagikan kepada pemilik sukuk.
Skema di atas membatasi pemerintah hanya sebagai penyewa bukan pemilik dan berbagi kepemilikan dimana pemerintaah tidak memiliki sepenuhnya. Skema yang terbaru yakni SBSN Ijarah Asset to be Leased dan ijaroh sale and lease back memungkinkan pemerintah dapat memiliki sepenuhnya aset tersebut. Pada akad ijarah Asset to be Leased adalah akad ijarah yang obyek ijarahnya sudah ditentukan spesifikasinya, dan sebagian obyek ijarah sudah ada pada saat akad dilakukan, tetapi penyerahan keseluruhan obyek ijarah dilakukan pada masa yang akan datang sesuai kesepakatan. Untuk lebih mudah memahami konsep ini misal saya hendak membeli mobil dan menerbitkan sukuk dengan akad ini. Si A yang membeli model sukuk ini, akan menerima bayaran sewa sampai saya ada uang tunai untuk membeli mobil tersebut. Adapun skema ijaroh sale and lease back tidak jauh berbeda dari ijaroh asset to be leased .
Penutup
Kiranya, demikian ulasan singkat tentang mengenal skema obligasi syari’ah atau sukuk. Berbeda dengan konsep konvensional, pada sistem ekonomi syari’ah terdapat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang mengawasi jalannya produk-produk keuangan syari’ah agar tetap dalam jalan syari’ah. Penulis tidak memberikan saran produk keuangan apa yang sebaiknya dibeli, karena keputusan itu adalah keputusan alami investor/pemilik modal dengan memperkaya pengetahuan dan rasionalitas.
Semoga ada manfaatnya
Bekasi, 3 Desember 2022
KataCakAkbar
Don't put all your eggs in one basket---Warren Buffet