√ Mengenal BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Sudah Syariah kah? - Cak Akbar

Mengenal BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Sudah Syariah kah?

Daftar Isi [Tampil]

     

    السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

    BERKENALAN DENGAN BPJS

    Pada tulisan ini kami hanya akan membatasi seputar BPJS terkait dengan apa itu BPJS? Bagaimana skema permainan (rules of the games) dari BPJS? Serta bagaimana tinjauan syariat Islam dari BPJS?

    Mengenal BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)

    Sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945, negara memiliki kewajiban mensejahterahkan kepentingan umum. Dalam hal ini semua masyarakat Indonesia tanpa memandang status dan kelas sosial berhak atas kesejahterahannya. tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.

    Secara konstitusi, upaya serius pemerintah baru berjalan pada era reformasi dengan diterbitkannya UU.No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Namun, dalam sistem tersebut jaminan sosial hanya bisa dirasakan oleh penduduk yang bekerja di instansi-instansi tertentu entah sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan TASPEN, ABRI & Polri dengan ASABRI, Pegawai Kementrian Kesehatan (KEMENKES) dengan ASKES, dan pekerja formal (industri, swasta, dan usaha lain yang berbadan hukum) dengan JAMSOSTEK. Walaupun secara undang-undang program ini bersifat wajib bagi seluruh penduduk, kenyataanya penduduk penduduk yang bekerja disektor informal dengan penghasilan tidak tetap, serta penduduk yang tidak bekerja tidak terjangkau jaminan sosial tersebut. Memang, dalam amanah undang-undang sudah ada upaya berupa PBI (Penerima Bantuan Iuran) hanya saja mekanismenya belum optimal. Maka pemerintah kemudian mengamandemen UU.No.40 tahun 2004 menjadi UU. No.24 Tahun 2011 tentang Badang Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

    Pada Undang-Undang tersebut, semua badan usaha asuransi yang terdesentralisasi tersebut diintegrasikan dalam sebauh sistema terpadu yakni BPJS. Dengan kata lain semua perusahaan asuransi seperti TASPEN, JAMSOSTEK, ASABRI, dan ASKES semua dilebur dalam BPJS. Pada gilirannya sesuai amanah undang-undang peserta atas program ini adalah seluruh masyarakat Indonesia dengan prinsip

    ü Gotong royong

    ü Nirlaba

    ü Keterbukaan

    (UU. No. 40 tahun 2011 Pasal 4)

    Dimana sumber iuran atas progam ini di dapat dari ;

    ü Peserta

    ü Pemberi kerja, dan atau

    ü Pemerintah

     (UU. No. 24 Tahun 2011 Bab 1 Pasal 1)

    Lebih lanjut iuran yang dibayarkan pemerintah ditujukan kepada peserta (masyarakat) fakir miskin dan masyarakat tidak mampu yang selanjutnya disalurkan dalam bentuk Kartu Indonesia Sehat (KIS).

    Mengapa iuran BPJS tidak gratis saja?

    Memang secara prinsip ekonomi publik, peran utama pemerintah adalah penyedia barang publik (public goods) untuk segenap masyarakat. Namun pada kenyataanya premis tersebut sangatlah utopis, mengingat semua pengeluaran pemerintah tercermin dalam Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) yang tentunya terbatas dan harus dialokasikan ke dalam semua lini pembangunan. Sehingga disini pemerintah memiliki trade-off apakah akan menggratiskan jaminan kesehatan nasional ataukah membebankan secara kolektif (gotong royong) kepada masyarakat + subsidi? tentunya piliha kedualah yang paling bijak.

    Namun pada kenyataanya, masyarakat yang telah tertanggung dalam program melakukan moral hazard syndrom ( selengkapnya tentang moral hazard https://id.wikipedia.org/wiki/Risiko_moral_(ekonomi) ) dan dalam penyalurannya pemerintah juga mengalami adverse selection (selengkapnya tentang adverse selection ( https://id.wikipedia.org/wiki/Seleksi_yang_merugikan ) dengan kata lain, sekalipun masyarakat telah melakukan iuran secara kolektif nyatanya BPJS mengalami defisit. Mengapa hal itu bisa terjadi? Disebabkan banyak peserta yang hanya mendaftar BPJS ketika sedang sakit, kemudian Banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan setelah sembuh, peserta berhenti mengiur atau tidak disiplin membayar iuran. Mudahnya terjadi pembengkakan biaya sehingga anggaran BPJS menjadi defisit (lebih besar pasak daripada tiang), sehingga pemerintah terjadi dilema apakah mengurangi fasilitas penerimaan manfaat ataukah menaikan biaya iuran? ya, pilihan yang diambil pemerintah pada akhirnya menaikan iuran.

    Sebetulnya jika kita berkaca pada negara-negara lain (seperti Eropa atau Amerika) sistem jaminan kesehatan nasional ini disebut social security dimana sumber iuran didapat dari pemotongan pajak yang dibebankan oleh setiap negara. Mengapa Indonesia tidak bisa seperti itu? Hal tersebut dikarenakan struktur lembaga perekonomian Indonesia belum serapih negara maju. Di Indonesia masih banyak pekerja/penduduk yang bekerja di sektor informal yang tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum. Berbeda dengan negara maju yang struktur lembaga ekonominya sudah madani, sehingga baik pekerja yang bekerja di sektor formal dan informal semuanya mendapat kepastian hukum. Selanjutnya jika diterapkan pajak, maka akan terjadi fenomena laffer curve dimana semakin tinggi pemerintah membebankan pajak kepada penduduk, justru penerimaan akan pajak itu sendiri akan semakin berkurang.

    Kurva Laffer


    Maka dengan adanya tingkat iuran yang dinaikan bisa meminimalisir kerugian akibat tindakan moral hazard peserta sekaligus besaran distribusi silang semakin besar dengan layanan fasiltas yang tetap.

    Apakah BPJS sudah sesuai dengan syari'at?

    Pada sub bagian ini, kami akan memadakan BPJS sebagaimana dengan asuransi. dan kami mengasumsikan pembaca sudah memahami apa itu asuransi, sehingga kami hanya cukup menjelaskannya sedikit.

    Sebelumnya perlu digaris bawahi, bahwa studi tentang BPJS atau yang sepadan seperti asuransi tidaklah dijumpai satupun ayat (secara eksplisit ataupun implisit) dan sunnah. Sehingga persoalan atas BPJS atau asuransi masuk dalam ranah fiqih kontemporer (persoalan Islam yang tidak dijumpai kasusnya di zama Rosulullah dan generasi salafussolih) sehingga model penarikan hukumnya mengedepankan Ijtihad dengan tinjauan aspek Qur'an dan Sunnah (Al-Hadist). Sebagaimana kisah Sohabat Muadz bin Jabbal saat Rosulullah utus ke Yaman sebagai Qodhi atau juru hukum

    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ " كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ " . قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ . قَالَ " فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ"  قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ " فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلاَ فِي كِتَابِ اللَّهِ "  قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ " الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ "

    Sesungguhnya ketika Rosulullah bermaksud mengutus Muadz ke negara Yaman Beliau bersabda “Bagaimana engkau akan menghukumi ketika engkau di sana sebagai hakim?”, Muadz menjawab “aku akan menghukumi dengan kitabullah (Qur’an)” Nabi bertanya lagi “Jika perkara tersebut tidak ada dalam Kitabullah?” Muadz menjawab “Maka dengan Sunnah Rosulullah صلى الله عليه وسلم”  Nabi bertanya kembali “Jika perkara itu tidak ada dalam Sunnah Rosulullah صلى الله عليه وسلم ?” Muadz menjawab “maka aku berupaya (berijtihad) dengan pendapatku dan aku tidak akan berlebihan” Kemudian Rosulullah menepuk dadanya Muadz lalu Rosulullah bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhoi oleh Allah” HR. Abu Daud

    Maka dari pemaparan hadist di atas disimpulkan dibolehkannya menggunakan ijtihad bilamana suatu persoalan tidak ditemui dalam Al-Qur'an dan Al-hadist. 

    Sebetulnya jika kita menilik sejarah, praktik asuransi atau kegiatan menanggung dan tertanggung sudah ada dalam tradisi Arab pra-Islam yang disebut Aqillah yang bermakna saling menanggung. Contoh praktik ini seperti, misal, ada suku A dan suku B jika terjadi sebuah kasus penduduk suku A membunuh penduduk suku B maka penduduk suku A harus menanggung ganti rugi atas kematian penduduk suku B oleh penduduk suku A. Praktik seperti ini tentu mirip dengan skema asuransi dimana ada beberapa pihak yang membayarkan iuran tertentu (premi) ketika terjadi klaim atas peristiwa tertentu (dalam hal ini kasus pembunuhan).

    Tentunya kasus seperti itu tidak bisa disamakan dengan praktik asuransi era saat ini, itulah sebabnya masalah asuransi "belum" menjadi persoalan serius yang akhirnya menjadi sebuah bahasan tersendiri di era kontemporer ini.

    Sebab itulah ulama-ulama fiqih memiliki kaidah dalam urusan muamalah

    والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم

    Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah (boleh) sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.

    Untuk di negara Indonesia terdapat Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai wadah berkumpulnya para Ulama dalam merumuskan sebuah kesepakatan hukum (konsensus/Ijma') yang disebut MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang selanjutnya memiliki tim khusus yang membahas seputar halal/haram praktik muamalah era kontemporer yang disebut Dewan Syariah Nasional (DSN) - MUI. Dalam kesepakatn DSN-MUI No. 21tahun 2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Dalam fatwa tersebut dijelaskan prisnip akad asuransi yang syariah yakni,

    ü Akad Tijarah

    ü Akad Tabarru’

    Dimana peruntukan kedua akad tersebut berbeda, yang dalam tulisan ini kami hanya berfokus pada akad tabarru' dan untuk akad tijarah akan dijelaskan secara tulisan terpisah (InsyaAllah). Dalam akad tabarru' uang yang disetorkan peserta kepada pengelola dana (dalam hal ini pihak asuransi) bersifat dana hibah (hadiah/ non-profit) yang selanjutnya dikelola oleh pengelola dana untuk kegiatan tabarru' atau dana kebaijkan/tolong menolong. Secara skema, akad tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut




    Selanjutnya, dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariahdapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya. 

    Bagaimana Dengan BPJS?

    Jika kita kembali pada penjelasan di awal, menurut undang-undang prinsip atas BPJS sendiri adalah gotong royong, hal ini sepadan dengan prinsip asrunasi syariah (berbasis sosial) dimana akad yang diperbolehkan adalah saling membantu dan menanggung (ta'awun dan takaful) dimana sumber pendapatan/premi/iuran bersumber dari pribadi, pemberi kerja (kantor/perusahaan/instansi) atau pemerintah (melalui skema Kartu Indonesia Sehat). Kemudian yang menjadi persoalanya adalah pada perusahaan asuransi syariah terdapat DPS (Dewan Pengawas Syariah) dimana perusahaan asuransi syariah wajib memiliki DPS setingkat direksi yang bertugas mengntrol dan menjamin jalannya asuransi dalam rel syariah sedangkan dalam BPJS tunduk pada undang-undang dan tidak terikat atas asar syariah. 

    Sebagaimana kewajiban pengelola dana adalah memastikan dana tersebut berkembang dan dimaksudkan untuk kegunaan kesejahterahaan yang sebesar-besarnya. Jika kembali mengacu pada UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS bagian ketiga pasa 11, pengelola dana diwajibkan menempatkan dana untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Dimana dalam adendum undang-undang tersebut tidak ada kewajiban harus dengan sesuai syariat, dengan kata lain bisa saja pegelola dana menempatkan dana iuran ke instrumen yang tidak syari'ah seperti obligasi (surat hutang), deposito bank konvensional. Itulah sebabnya sebagian dari MUI ada yang memfatwakan haram atas BPJS ini dan terindikasi berpotensi menjadikan riba.

    Sebagai informasi berimbang silahkan membaca kanal berita melalui tautan di bawah ini

    https://nasional.tempo.co/read/687699/ini-alasan-mui-beri-fatwa-haram-bpjs-kesehatan/full&view=okhttps://mui.or.id/berita/569/pemerintah-mui-sepakat-bpjs-kesehatan-direvisi-agar-sesuai-syariah/

    Dalam opini pribadi penulis, indikasi belum sesuai dengan syariah nya BPJS seperti tadi yang dijelaskan kalau bisa saja pengelola dana mengivestasikan dananya ke instrumen non-halal. Benarkah demikian?

    Kembali perlu difahami bahwa sumber pendapatan BPJS ini terbagi menjadi dua

    1. dana iuran (baik pribadi, instansi, atau pemerintah)

    2. Imbal hasil investasi

    Sekarang mari kita berasumsi, dana yang akan dimaksudkan untuk dikelola (diinvestasikan) semuanya diinvestasikan pada instrumen non-halal maka pertanyaanya ialah seberapa banyak yang diinvestasikannya?

    Laporang Keungan BPJS tahun pembukuan 2021
    https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/assets/uploads/laporan_keuangan/LK_LPP_BPJAMSOSTEK_2021.pdf

    Jika kita amati, dana iuran yang diinvestasikan secara umum tidak lebih dari 10% (kecuali pada dana JHT/Jaminan Hari Tua yang alokasinya sampai 67% karena memang diperuntukan untuk jangka panjang). Sehingga kalaupun (yang selain JHT) diinvestasikan ke sektor non-syariah hal tersbut masih diperbolehkan mengingat DSN-MUI dalam peraturan POJK memberi kelonggaran (rukhsoh) apabila terdapat pendapatan non-halal maksimal 45%. 

    bacaan lebih lengkap : https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Pages/Kriteria-dan-Penerbitan-Daftar-Efek-Syariah-.aspx 

    Sehingga dalam tinjuaan syar'i kegiatan BPJS itu sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip syariah karena mayoritas bentuk BPJS dibebankan dari subsidi silang antar iuran peserta.

    dalam kesimpulan kami, kami menyarankan untuk tidak mengikuti prorgam Jaminan Hari Tua karena dilihat rasio investasinya yang besar dan belum diketahui dalam instrumen apa investasi tersebut dialokasikan (wawllahu aklam).

    Sehingga secara umum, masyarakat diperbolehkan saja untuk mengikuti program BPJS ini disamping banyak manfaatnya juga sebagai bentuk kita saling tolong menolong sesama manusia lainnya.

    Bagaimana Jika Bekerja di BPJS?

    Secara singkat jika mengacu pada DSN-MUI No.52 Tahun 2006 tentang akad wakalah bil ujroh pada asuransi syariah maka diperbolehkan. Penjelasan sederhana dari akad tersebut seperti ini. Misalnya, saya hendak mentransfer uang dari rekening A ke B. Di situ ada pihak perantara yang menghubungkannya (misal mesin ATM). Saya, menyerahkan (mewakalahkan) dana saya ke mesin ATM yang kemudian dia memberikan ke B, dalam hal ini mesin ATM meminta upah (ujroh) atas usahanya mentransferkan uang saya ke rekening B.

    Penutup

    Dalam tulisan ini tentu banyak penyederhanaan (simplifikasi) baik tentang istilah, pengertian dan lain-lain, InsyaAllah tulisan ini akan berlanjut tentang perbedaan mendasar antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

    Sekian semoga ada manfaatnya,
    Alhamdulillahi Jazza Kumullahu Khoiro

    السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

    Yogyakarta, 10  Juni 2022
    KataCakAkbar

    Rosulullah bersabda :

    خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ

     "Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia yang lain"
    HR. Tirmidzi



    Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

    Hai

    Klik Kontak Whatsapp Di Bawah Ini Untuk Mulai Mengobrol

    Pemilik Cak Akbar
    +6282136116115
    Call us to +6282136116115 from 0:00hs a 24:00hs
    Hai, ada yang bisa saya bantu?
    ×
    Tanya Kami