Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakathu,
Pernah nda temen-temen menedengar salah satu tujuan negara ini yang tertuang dalam UUD 45 yang berbunyi “memajukan kesejahterahaan umum”? kalo ya, berarti temen-temen paham dong bahwa kesejahterahaan adalah milik siapa saja, bukan hanya milik beberapa orang elite yang ada di negeri ini.
Beberapa tahun lalu, salah satu majalah ekonomi dunia “The Economist” pernah merilis salah satu tajuk berita berjudul “Economy one persen” dimana, kekayaan di dunia ini hanya dipegang oleh 1 persen (bahkan kurang) populasi manusia. Bahkan kekayaan 3 orang di dunia setara dengan kekayaan seluruh warga Afrika. Inilah salah satu kelemahan sistem kapitalis yang menyerahkan kepada sistem pasar bebas. Dimana kesejahterhaan individu tergantung dari kepiawaainya dalam menghadapi sistem pasar bebas. Walhasil, yang kayak semakin kaya dan yang miskin semakin miskin (the richer get rich the poorer get poor). Selain itu doktrin kapitalisme yang berbunyi “more is preferrence than less” memicu khalayak manusia untuk berlomba-lomba menjadi yang terkaya tanpa mengindahkan kanan-kirinya.
Distribusi pendapatan merupakan kriteria yang mengindikasikan mengenai penyebaran atau pembagian pendapatan atau kekayaan antar penduduk satu dengan penduduk lainnya dalam wilayah tertentu. Ibarat kue, pendapatan suatu negara adalah kue itu sendiri. Pembagian seberapa besar kue terebut itulah yang dinamakan distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan merupakan salah satu isu yang sentral dalam pembahasan tentang peran negara dalam perekonomian. Hal ini disebabkan karena distribusi pendapatan seringkalu dihubungkan dengan keadilan. Ketimpangan pendapatan yang disebabkan oleh tidak meratanya distribusi pendapatan menyebabkan sekelompok orang terjerat dalam kemiskinan.
Kalo gitu apa sih dampak-dampak akibat ketimpangan distribusi pendapatan? jelas ada banyak dong, diantaranya,
1. Melebarkan jurang antara si kaya di si miskin. Hal ini suatu keniscayaan yang terjadi apabila ketimpangan distribusi pendapatan tinggi. Jika hal ini terjadi, betul-betul menciptakan kesenjangan sosial dan secara alamiah akan tercipatanya kelas sosial.
2. Kemakmuran yang tidak merata, bayangkan temen-temen kalo ada kue, katakanlah 100, yang seharusnya untuk dimakan orang 100. Namun 90 kue tersbut sudah di ambil oleh 10 orang. bagaimana dengan 90 orang sisanya? jelas 10 sisa kue tersebut harus dibagi ke 90 orang sisanya, apakah hal itu adil?
3. Terciptanya kelas sosial dan memunculkan elit-elit ekonomi. Dengan membesarnya jurang ketimpangan distribusi pendapatan, tatakala hanya sebagian kecil orang-orang yang bisa meneguk kemakmuran maka kelahiran elit-elit ekonomi menjadi suatu keniscayaan. lantas apa dampaknya? mereka dapat lebih leluasa dalam mempertahankan dinasti kekayaanya, mengendalikan regulasi dan hukum. Apa imbasnya? masyarakat proletar semakin tertindas. Untuk rujukan bisa deh nonton, video Sexy Killers. Yang ternyata dibalik kenikmatan listrik yang kiya nikmati ada pengorbanan masyarakat kecil yang tertindas oleh para konglomerat-konglomerat tanah air ini.
4. Suatu saat akan muncul default Society. Hal ini yang pernah di paparkan seorang filsuf dan ekonom antitesis tersohor pada masanya yaitu, Karl Marx. Dari bukunya The Manifesto marx mengutarakan idenya bahwa dalam proses sosial masyarakat akan terjadi suatu pola bertahap. Dianataranya akan ada fase dimana kekuataan kapitalis akan semakin tinggi dan hingga ada pada saatnya, para kelas buruh/rakyat jelata/masyarakat proletar akan melakukan kudeta besar-besaran yang nantinya sistem sosial akan kembali menjadi awal lagi (default).
 |
Salah satu kawasan perumahaan di negara Meksiko yang sangat kentara pemisahan jurang antara si kaya dan si miskin. |
Nah, sekarang bagiaman dengan negara kita tercintah, Indonesia?. Pada era orde baru zamanya mbah harto, ada suatu kebijakan yang dinamakan “Trilogi Pembangunan” apaan tuh? nah kebijakan itu ialah suatu dilema yang dihadapi saat itu dimana mereka harus memilih untuk merumuskan kebijakan ekonominya, apakah
* Stabilitas Nasional yang dinamis
* Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan
* Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya.
Mudahnya, pemerintah waktu tu galau. Ibarat punya kue apakah mau diperbesar dulu kuenya? langsung dibagi kuenya? atau ga dua-duanya malah justru di simpen aja. Akhirnya, pemerintah waktu itu ambil kebijakan membesarkan kuenya. Jadi ekspektasi pemerintah waktu itu, kalo kuenya langsung dibagi kan masih kecil tu kuenya nah masyarakat dapetnya sedikit. Maka maunya pemerintah kue nya tu di gedein dulu. Kalo udah gede baru dibagi-bagi. Maka pada waktu itu pemerintah mengundang para pebisnis yang lihai dalam menggerakan roda perekonomian. Maka, dipilihlah beberapa ohang khaya untuk menjalankan beberapa sektor strategis perekonomian dimana mereka diberikan banyak keluasan dan subsidi. Mulanya pemerintah berharap bahwa akan terjadi Trickle Down Effect atau efek menetes
yaitu, kegiatan ekonomi yang lebih besar diharapkan dapat memberikan efek terhadap kegiatan ekonomi di bawahnya yang memiliki lingkup yang lebih kecil. Namun, pada kenyataannya teori ini sudah tidak berjalan seperti sebagaimana mestinya. Kenyataannya yang terjadi justru trickle up effect atau efek muncrat ke atas. Orang-orang kaya cenderung lebih mendapatkan kemudahan secara ekonomi, justru lupa untuk membangun perekonomian kecil yang berada di bawahnya. Akibatnya, yang kaya menjadi semakin kaya, dan yang miskin menjadi semakin miskin. Oleh karena itu, pembagian kue pambangunan pun justru semakin dinikmati oleh kalangan atas. Nah, itulah salah satu ketar-ketir yang dihadapi mbah Harto di akhir masa rezimnya selama 32 tahun. Dimana ohang-ohang kaya dulu yang udah di gedein sama negara eh,,, lupa diri. Mohon maaf tidak bermaksud SARA, termasuk ohang-ohang kaya itu adalah etnis Tionghoa yang kalo temen-temen cari di mbah google dengan keywords 9 Naga Indonesia nah disitu temen-temen liat ohang-ohang super duper kaya di Indonesia. Makanya pas kerusuhan 98-99, banyak warung-warung orang Tionghoa (China) melebeli warungnya dengan tulisan “milik pribumi” biar ga kena imbas dari barbaranya rakyat waktu itu.
Kalo ada waktu juga nih ada video yang cukup keren dari wartawan kondang Inggris Jhon Pilgers yang membahas tentang underground ekonominya Indonesia di awal tahun 2000-an.
Nah, (bukan nyalahin pemerintaj juga sih, yah namanya juga udah qodar) akibat kebijakan pemerintah orde baru kala itu, hingga hari ini ketimpangan pendapatan masyarakat menjadi suatu isu yang tak pernah padam.
Disninlah termasuk kerjaan seorang ekonom, yakni melihat dan menganalisa adanya suatu gejala ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia. Ada dua alat analisis yang masih akurat digunakan hingga hari ini yaitu, Kurva Lorenz dan Koefisien Gini.
Nah, penjelasan dari gamabar tu, pada sumbu vertikal (ke atas) menunjukan presentase output (kue) pendapatan nasional dengan angka-angka kumulatif. Sedangkan pada sumbu horizontal (datar) menggambarakan presentase jumlah keluarga . Secara umum pada sumbu horizontal tersebut akan dibagi masing-masing 20% mulai dari keluarga yang paing miskin sampai keluarga ohang-ohang khaya. Nah, semakin kurva lorenz ntu menjauhi garis diagonal (yang miring tu) maka menunjukan ketimpangan yang besar. Adapaun untuk mengukur koefisien gini (untuk mengukur tingkat ketimpangan) adalah dengan menghitiung luas segititas yang diarsis antara garis diagonal dan kurva lorenz nya.
Kalo dari indeksnya begini,
Nilai Gini Rasio (GR)
GR<0.3 = ketimpangan rendah
0.3<GR<0.5 = ketimpangan sedang/menengah
GR>0.5 = ketimpangan tinggi
Oke, langsung aja deh kita ke studi kasus di negara tercintah kita ini. Data ini aku ambil dari BPS (Badan Pusat Statistika) pada tahun 2021 akhir
Secara agregat Indonesia memiliki gini rasio yang tergolong menengah dimana rasionya di antara 0.3<GR<0.5 . Selanjutnya jika kita
breakdown angka tersebut merupakan dari rerata distribusi pendapatan penduduk desa + kota yang dibagi atas penduduk berpenghasilan 40% terbawah, 40% menengah, dan 20% ke atas.
oke, temen-temen pada fokus di data bulan September 2021. Kalo temen-temen lihat di perkotaan + perdesaan masyarakat miskin hanya menikmati 17,97% pendapatan (kue) nasional, masyarakat kelas menengah 36,32% dan masyarakat kaya 45,71%. Selanjutnya jika diilustrasikan seperti ini,
Makna dari angka-angka tersebut apa? Hal tersebut menandakan kue perekonomian lebih banyak dinikmati masyarakat kelas atas (orang kaya). Dimana cara mengklasifikasikan 40% terbawah, 40% menengah, dan 40% teratas dilihat dari besarannya pengeluaran. Mengapa menggunakan pendekatan pengeluaran? karena dengan mengetahui pengeluaran seseorang/keluarga rumah tangga tentu dapat diestimasi besaran pendapatannya. Seperti jika sebuah keluarga dalam sebulan memiliki pengeluaran sebanyak Rp. 6 juta rupiah, tentu pendapatannya adalah sama dengan pengeluarannya atau bahkan lebih besar (karena sisanya ditabung, sebagaimana dalam persamaan fungsi tabungan S = Y-C)
Jika dilihat porsi ketimpangan per-Provinsi, ketimpangan tertinggi saat ini disandang oleh Provinsi DIY dengan nilai rasio gini sebesar 0,46. Memang secara aktual ketimpangan yang terjadi di DIY cukup masif mengingat tren yang terjadi di DIY tengah mengalami fase grentifikasi, dimana banyak pendatang dari luar daerah DIY berdatangan untuk menetap, berinvestasi, dan bekerja di DIY yang notabene nya mereka adalah penduduk berpenghasilan tinggi di daerah lain yang menetap pensiun di DIY dan mereka yang melakukan ekspansif bisnis ke DIY. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin masifnya kawasan elit di DIY, apartemen eksklusif dan konodomium.
Terus kebijakan apa nih yang ditempuh pemerintah buat menurunkan ketimpangan seperti ini? ada banyak diantaranya
1. Pajak Progressif, dikenakan buta ohang-ohang kaya dimana semakin tinggi kekayaan mereka maka akan semakin banyak pula pajaknya. Dimana fungsi pajak ini sebetulnya seperti rem agar orang kaya jangan sampai terlalu kaya. selain itu hasil daripada pajak tersebut bisa dialokasikan semaksimal mungkin dalam rangka pemerataan nasional.
2. Mendorong adannya ekonomi kreatif, karena sejahtera adalah hak setiap warga negara maka masyarakat akan didorong memiliki keterampilan agar bisa mandiri. Selain itu masyarakat yang tidak kreatif seterusnya hanya akan menjadi faktor produksi para kapitalis/pemodal
3. meningkatkan mutu pendidikan warganya. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor pendidikan juga menyebabkan rendahnya kualitas hidup seseorang, maka dengan adanaya meningkatkan pendidikan membuat warganya menjadi lebih memiliki peluang untuk merubah nasib.
Dan banyak lagi lainya. Namun, semua itu tetap hanya menjadi kebijakan hampa, jika tidak betul-betul diupayakan.
Maka mari kita wujudkan amanat dalam UUD negara kita untuk mensejahterahkan kesejahterahaan umum guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Yogyarkarta, 15 Juni 2022
KataCakAkbar
“Hingga pohon terakhir ditebang, sungai terakhir dikosongkan, ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa uang tidak bisa dimakan”
Eric Weiner, The Geography of Bliss : One Grump’s Search for the Happiest Places in the World