اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Pada tulisan ini kami akan berbagi sebuah kisah pilu sekaligus kisah mulia dari seorang Sohabat Rosulullah Muhammad ﷺ. Kisah pilu dalam tulisan ini menceritakan seorang hamba Allah yang agung merenggut nyawa dengan cara yang tragis, namun ada serangkaian hikmah yang bisa kita jadikan renungan dan bahan nasehat dari kisah Sohbat Rosulullah ﷺ, Umar bin Khotob.
Kisah ini akan kami narasikan dengan gaya bahasa penulis dengan sedikit penambahan syarah/penjelasan atas tulisan tersebut agar sekiranya mudah dipahami. Semoga Allah memberikan manfaat dan barokah.
Kisah yang akan kami narasikan ini dinukil dari kitab Al-Jami’ as-Shohih atau lazim dikenal dengan kitab Sohih Bukhori yang berisikan kompilasi hadist yang otentik (sohih) dan atsar-atsar para Sohabat rodiyallau anhum. Hadist yang akan kami ceritakan ini terdapat dalam judul bab “kisah bersepakatnya para Sohabat atas pembaitannya Utsman bin Affan yang didahului dari terbunuhnya Umar bin Khotob”.
Kisah ini diceritakan dalam riwayar Sohabat Amru bin Maimun, dia berkisah “Saya melihat Umar bin Khotob radhiyallohu anhu sehari sebelum terbunuhnya di Madinah. Saat itu Umar sedang berunding dengan Hudaifah bin Yamani dan Ustman bin Hunaif (tentang tugas keduanya sebagai Amir daerah di Iraq).
Umar berkata: “Bagaimana kalian berdua bekerja, jangan-jangan kalian membebani warga di sana?”
Mereka berdua menjawab dengan pengandaian “Kami akan membebani warga dengan perkara yang mereka mampu, yang tidak melebihi besarnya penghasilan mereka”.
Umar: “Kalian berhati-hatilah, jangan sampai membebani warga melebihi kemampuannya”.
Mereka menjawab: “Tidak”.
Umar: “Apabila Allah menyelamatkan saya, saya akan jadikan janda-jandanya Iraq mampu tidak tergantung pada laki-laki (suami) setelah matiku selamanya”(jika saya diberikan umur yang panjang nisaya janda-janda yang ada di sana akan saya ramut)
Amru bin Maimun melanjutkan kisahnya “Empat hari setelah mereka Hudaifah bin Yamani dan Ustman bin Hunaif) menghadap Umar bin Khatab terbunuh,
Pada subuh terbunuhnya Umar saa itu saya sholat berjamaah di belakang Umar hanya tepat di depan saya ada Abdullah bin Abas.
Saat itu ketika Umar memeriksa shof kedua dia berkata: اسْتَوُوا , luruskan (shof kalian), sampai tidak ada celah dalam shof kemudian Umar maju dan takbir.
Biasanya Umar membaca Surat Yusuf atau Surat Nahl atau sejenisnya pada rakaat pertama sambil menunggu jamaah lain datang.
Tapi pada sholat terakhir itu saya hanya mendengarkan takbir diikuti suaranya: “Seseorang membunuhku” atau “Seekor anjing telah memakanku”, ketika itu seseorang menusuk Umar, seorang budak kafir menyerang dengan pisau bermata ganda/yang memiliki dua ujung. (yang kemudian diketaui bernama Abu Lu’lu’ah seorang Majusi dari suku Ulju yang menyamar sebgai orang Islam).
Kemudian si pembunuh melarikan diri dengan menusuk orang-orang disekitarnya hingga terluka tiga belas laki-laki, dan dari mereka yang ditusuk ada 8 orang yang syahid (terbunuh).
Ketika itu seorang laki-laki Muslim ada yang sigap menyergap si pembunuh dengan baju burnusnya (baju yang ada tutup kepalanya).
Menyadari dirinya telah terperangkap si pelaku tersebut menusuk lehernya sendiri sampai mati.
Kemudian Umar menarik tangan Abdurahman bin Auf agar maju mengimami sholat.
Saat itu makmum yang dekat pengimaman bisa melihat apa yang sedang terjadi sedangkan yang di pojok-pojok dan belakang tidak mengetahui apa yang terjadi selain mereka tidak mendengarkan suara bacaan Imam, hingga mereka berteriak mengingatkan: “Subhanalloh, subhanalloh!” (mereka meneraikan tasbih karena mereka hendak mengingatkan Umar yang tidak ada suaranya, padahal mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi)
Maka Abdurahman mengimami jamaah dengan sholat yang ringan.
Ketika selesai sholat Umar berkata: “Wahai Abas lihatlah siapa yang menyerangku”.
Abas pergi sebentar kemudian segera kembali dan mengatakan: “Budaknya Mughiroh”.
Umar: “Diakah pelakunya?”
Abas: “Benar”.
Umar: “Semoga Allah melaknatinya, saya mengajak mereka berbuat baik, Alhamdulillah aku tidak mati di tangan orang Islam, sungguh engkau dan ayahmu suka memperbanyak orang musrik di Madinah, dan kebanyakan mereka adalah budak”.
Abas: “Jika engkau (Umar) menghendaki kami bisa mengusir mereka atau membunuh mereka”.
Umar: “Keliru kamu, mereka itu sholat dengan kiblat mu, dan haji seperti kamu”. (kamu tidak mungkin akan berbuat seperti itu).
Selanjutnya Umar dibawa pulang ke rumahnya dan kami mengikutinya dan jamaah merasa sebelumnya tidak pernah bersedih seperti saat itu.
Sebagian orang mengatakan tidak masalah (Umar pasti sembuh) sedang sebagian mengkhawatirkan keselamatan Umar.
Kemudian Umar diberi minum rendaman anggur lalu air tersebut keluar dari perutnya. (menunjukan luka yang dialami Umar cukup serius, usus perutnya robek).
Kemudian ia diberi susu dan air susu itu juga keluar mengalir dari lukanya maka saat itu jamaah menyadari Umar dalam kondisi kritis.
Maka kami masuk menjenguk dan para jamaah menghibur dan menyanjung Umar.
Seorang pemuda berkata: “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin dengan janji Allah padamu, engkau telah mendampingi Rasulullah ﷺ dan engkau menjadi awwalul mukminin golongan awal yang masuk Islam kemudian engkau jadi Amir dan engkau berbuat adil”.
Mendengar sanjungan tersebut justru Umar berkata “Aku senang seandainya keamiranku ini impas, tidak menjadikan dosa dan tidak memberikan manfaat bagiku”. (saya menjadi Amir seperti ini umpama Allah tidak menyiksa saya itu sudah cukup bagiku).
Ketika pemuda itu pergi berpaling, pakaian si pemuda menjuntai menyentuh lantai (nglembreh), lalu Umar berkata: “Kembalilah engkau anak muda, angkatlah pakaianmu nak, pakaian cingkrang itu lebih baik dan lebih bertaqwa pada Tuhanmu”. (dalam kondisi yang sudah kritis Umar masih sempat-sempatnya mengingatkan dan menasehati Jamaahnya yang keliru, Subehanallah).
Setelah itu Umar berkata kepada anaknya “Wahai anakku Abdullah, periksalah hutang-hutangku hitunglah dan temukan hutangku sebesar kurang lebih delapan puluh enam ribu, jika harta kita mencukupi bayarlah hutang-hutangku dengan harta keluarga kita, jika tidak mencukupi, mintalah bantuan Bani ‘Adi bin Ka’ab, bila belum juga mencukupi, mintalah bantuan kerabat dalam Quraish, dan jangan ke luar dari suku Quraish bayarkanlah harta-harta itu atas namaku.” (bukan atas nama Amirul Mukminin)
“Wahai anakku” lanjut Umar, “Pergilah engkau pada Aishah Ummul Mu’minin, sampaikan salamku, dan jangan engkau katakan Amirul Mukminin, karena aku saat ini bukan Amirnya Orang Iman lagi, Mintakanlah izin agar Umar bin Khatab dimakamkan bersama sahabatnya (Nabi Muhammad dan Abu Bakar)”.
Kemudian Ibnu Umar menemui Aishah yang saat itu duduk di depan teras rumah sambil menangis.
Abdullah bin Umar berkata “Ayahku Umar bin Khatab menyampaikan salam pada Anda, dan minta izin agar dimakamkan di sisi kedua sahabatnya”.
Sejenak Aishah diam berpikir kemudian menjawab “Sesungguhnya saya menginginkan makam di sisi Nabi dan ayahku untuk diriku sendiri, dan hari ini aku khususkan makam itu untuk ayahmu mengalahkan aku”. Kemudian Abdullah undur pamit untuk kembali.
Ketika Abdullah bin Umar kembali pulang disampaikan, “Ini Abdullah bin Umar telah kembali”.
Umar: “Angkatlah saya”, kemudian seorang laki-laki menyandarkan Umar bin Khatab pada putranya.
Umar: “Bagaimana hasilnya?”
Abdullah: “Seperti yang engkau harapkan wahai Amirul Mukminin, ibu Aishah memberikan ijinnya”.
Umar bin Khatab: “Alhamdulillah, tidak ada hal yang lebih berat bagiku selain minta ijin pada Aishah, apabila telah sampai ajalku bawalah aku, kemudian sampaikan salamlah pada Aishah, dan katakan: ‘Umar bin Khatab kembali minta ijin dimakamkan di sini’, jika Aishah masih mengijinkan maka masukkanlah aku namun bila Aishah berubah pikiran maka kembalilah dan makamkan aku di pemakaman Islam”. (menunjukkan kebesaran hati seorang Umar).
Tidak lama berselang datanglah Ummul Mu’minin Hafshoh berjalan bersama beberapa wanita.
Ketika melihat mereka, kami berdiri, dan mereka masuk pada Umar kemudian menangis beberapa saat. Kemudian seorang laki-laki datang dan masuk, kami semua mendengar tangisan mereka.
Mereka berkata: “Berwasiatlah wahai Amirul Mukminin, tunjuklah khalifah pengganti sesudahmu.
Umar menjawab: “Saya tidak melihat yang lebih berhak atas keamairan daripada beberapa orang ini yaitu orang-orang yang Rasulullah ﷺ senang/ridho pada mereka”.
Kemudian Umar menyebut nama beberapa orang, Ali, Ustman, Zubair, Tholhah, Said dan Abdurrahman (bin Auf).
Umar berkata: “Aku persaksikan pada kalian bahwa Abdullah bin Umar, anakku, tidak berhak atas kekhalifahan sedikitpun”. (sebab Abdullah bukan termasuk 10 Sohabat yang Nabi ridho terhadapnya)
Dalam kondisi yang semakin melemah Umar berkata: “Aku berwasiat pada khalifah setelah aku agar berbuat baik pada orang-orang muhajir dan para awalul mukminin, agar memahami hak-hak mereka dan agar menjaga kehormatan mereka.
Dan aku berwasiat agar para khalifah berbuat baik pada orang-orang ansor, yang telah menyediakan rumah dan keamanan sebelum kedatangan para muhajir,
Agar kalian mensyukuri kebaikan-kebaikan mereka (ansor) dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, Dan saya berwasiat agar kalian berbuat baik pada keluarga orang ansor, sebab merekalah yang menolong Islam,
Dan berbuat baiklah pada pembayar pajak (kafir dzimi) dan musuh-musuh yang marah dan janganlah memungut pajak dari mereka kecuali bagi yang mampu dengan ridho,
Aku berpesan pada khalifah penggantiku agar berbuat baik pada orang-orang desa sebab merekalah asal-usul oran Arab dan mereklah pejuang-pejuang pendukung Islam,
Pungutlah zakat orang-orang kaya dan berikan pada orang-orang fakir,
Dan tetapilah hak-hak orang kafir dzimi, jangan memusuhi mereka dan jangan memaksa kecuali sebatas kemampuan mereka ,”
Tak lama setelah itu, sang Kholifah menghembuskan nafas terakhir…
Ketika Umar bin Khotob telah wafat kami membawa keluar dan berangkat berjalan mengantar jenazah.
Abdullah bin Umar memenuhi wasiat ayahnya dengan mengucap salam dan minta izin pada Ibu Aishah: “Ayahku Umar bin Khotob kembali minta izin padamu untuk dimakamkan di sisi dua sahabatnya (Nabi dan Abu Bakar)”.
Aishah menjawab: “Masukkanlah jenazah itu”.
Maka Abdullah memakamkan Umar disamping dua sahabatnya (Nabi dan Abu Bakar).
Setelah selesai pemakaman berkumpullah orang-orang yang disebutkan Umar.
Abdurrahman berkata: “Saya serahkan masalah keamiran pada tiga orang dari kalian”.
Zubair berkata: “Saya serahkan keamiran pada Ali”.
Tholhah berkata: “Saya serahkan perkara keimaman pada Ustman”.
Said berkata: “Kalau saya memilih Abdurrahman bin Auf”.
Abdurrahman berkata: “Siapakah diantara kalian yang mau mundur dari perkara ini, maka aku akan menjadikannya Amir sebagai pilihan Allah dan Orang Islam, yang pasti mengetahui keistimewaan diri kalian?”
Kedua orang (Ustman dan Ali) diam.
Abdurrahman kembali berkata: “Apakah kalian ingin saya yang menentukan siapa yang lebih berhak?”
Ali dan Ustman menjawab: “Silakan”.
Abdurrahman kemudian menarik tangan salah satu dari mereka dan berkata: ”Engkaulah kerabat Rasulillah ﷺ yang lebih dulu masuk Islam yang saya ketahui,
Demi Allah seandainya engkau menjadi Amir pasti engkau bisa adil dan jika aku menjadikan Ustman sebagai Amir kalian pasti akan mendengarkan dan taat ”.
Kemudian Abdurrahman berbicara dengan yang satunya (Ali) dan mengatakan hal yang sama.
Ketika mereka mengambil sumpah, Abdurrahman berkata: “Angkatlah tanganmu wahai Ustman”.
Maka Ustman membaiat Abdurahhamn bin Auf dan Ali juga berbaiat pada Ustman (baiatul al-khoossoh), setelah itu warga Madinah berbondong-bondong masuk berbaiat pada Ustman (baitaul aaammah).
Lampiran haadist.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ، قَالَ: رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَبْلَ أَنْ يُصَابَ بِأَيَّامٍ بِالْمَدِينَةِ، وَقَفَ عَلَى حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَانِ، وَعُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، قَالَ: ” كَيْفَ فَعَلْتُمَا، أَتَخَافَانِ أَنْ تَكُونَا قَدْ حَمَّلْتُمَا الأَرْضَ مَا لاَ تُطِيقُ؟ قَالاَ: حَمَّلْنَاهَا أَمْرًا هِيَ لَهُ مُطِيقَةٌ، مَا فِيهَا كَبِيرُ فَضْلٍ، قَالَ: انْظُرَا أَنْ تَكُونَا حَمَّلْتُمَا الأَرْضَ مَا لاَ تُطِيقُ، قَالَ: قَالاَ: لاَ، فَقَالَ عُمَرُ: لَئِنْ سَلَّمَنِي اللَّهُ، لَأَدَعَنَّ أَرَامِلَ أَهْلِ العِرَاقِ لاَ يَحْتَجْنَ إِلَى رَجُلٍ بَعْدِي أَبَدًا، قَالَ: فَمَا أَتَتْ عَلَيْهِ إِلَّا رَابِعَةٌ [ص:16] حَتَّى أُصِيبَ، قَالَ: إِنِّي لَقَائِمٌ مَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، إِلَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ غَدَاةَ أُصِيبَ، وَكَانَ إِذَا مَرَّ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ، قَالَ: اسْتَوُوا، حَتَّى إِذَا لَمْ يَرَ فِيهِنَّ خَلَلًا تَقَدَّمَ فَكَبَّرَ، وَرُبَّمَا قَرَأَ سُورَةَ يُوسُفَ، أَوِ النَّحْلَ، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ , فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى حَتَّى يَجْتَمِعَ النَّاسُ، فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ كَبَّرَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: قَتَلَنِي – أَوْ أَكَلَنِي – الكَلْبُ، حِينَ طَعَنَهُ، فَطَارَ العِلْجُ بِسِكِّينٍ ذَاتِ طَرَفَيْنِ، لاَ يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ يَمِينًا وَلاَ شِمَالًا إِلَّا طَعَنَهُ، حَتَّى طَعَنَ ثَلاَثَةَ عَشَرَ رَجُلًا، مَاتَ مِنْهُمْ سَبْعَةٌ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَجُلٌ مِنَ المُسْلِمِينَ طَرَحَ عَلَيْهِ بُرْنُسًا، فَلَمَّا ظَنَّ العِلْجُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ نَحَرَ نَفْسَهُ، وَتَنَاوَلَ عُمَرُ يَدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ، فَمَنْ يَلِي عُمَرَ فَقَدْ رَأَى الَّذِي أَرَى، وَأَمَّا نَوَاحِي المَسْجِدِ فَإِنَّهُمْ لاَ يَدْرُونَ، غَيْرَ أَنَّهُمْ قَدْ فَقَدُوا صَوْتَ عُمَرَ، وَهُمْ يَقُولُونَ: سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ، فَصَلَّى بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ صَلاَةً خَفِيفَةً، فَلَمَّا انْصَرَفُوا قَالَ: يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، انْظُرْ مَنْ قَتَلَنِي، فَجَالَ سَاعَةً ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ: غُلاَمُ المُغِيرَةِ، قَالَ: الصَّنَعُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: قَاتَلَهُ اللَّهُ، لَقَدْ أَمَرْتُ بِهِ مَعْرُوفًا، الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ مِيتَتِي بِيَدِ رَجُلٍ يَدَّعِي الإِسْلاَمَ، قَدْ كُنْتَ أَنْتَ وَأَبُوكَ تُحِبَّانِ أَنْ تَكْثُرَ العُلُوجُ بِالْمَدِينَةِ، – وَكَانَ العَبَّاسُ أَكْثَرَهُمْ رَقِيقًا – فَقَالَ: إِنْ شِئْتَ فَعَلْتُ، أَيْ: إِنْ شِئْتَ قَتَلْنَا؟ قَالَ: كَذَبْتَ بَعْدَ مَا تَكَلَّمُوا بِلِسَانِكُمْ، وَصَلَّوْا قِبْلَتَكُمْ، وَحَجُّوا حَجَّكُمْ. فَاحْتُمِلَ إِلَى بَيْتِهِ فَانْطَلَقْنَا مَعَهُ، وَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ تُصِبْهُمْ مُصِيبَةٌ قَبْلَ يَوْمَئِذٍ، فَقَائِلٌ يَقُولُ: لاَ بَأْسَ، وَقَائِلٌ يَقُولُ: أَخَافُ عَلَيْهِ، فَأُتِيَ بِنَبِيذٍ فَشَرِبَهُ، فَخَرَجَ مِنْ جَوْفِهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِلَبَنٍ فَشَرِبَهُ فَخَرَجَ مِنْ جُرْحِهِ، فَعَلِمُوا أَنَّهُ مَيِّتٌ، فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ، وَجَاءَ النَّاسُ، فَجَعَلُوا يُثْنُونَ عَلَيْهِ، وَجَاءَ رَجُلٌ شَابٌّ، فَقَالَ: أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ لَكَ، مِنْ صُحْبَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدَمٍ فِي الإِسْلاَمِ مَا قَدْ عَلِمْتَ، ثُمَّ وَلِيتَ فَعَدَلْتَ، ثُمَّ شَهَادَةٌ، قَالَ: وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَفَافٌ لاَ عَلَيَّ وَلاَ لِي، فَلَمَّا أَدْبَرَ إِذَا إِزَارُهُ يَمَسُّ الأَرْضَ، قَالَ: رُدُّوا عَلَيَّ الغُلاَمَ، قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي ارْفَعْ ثَوْبَكَ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ، وَأَتْقَى لِرَبِّكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، انْظُرْ مَا عَلَيَّ مِنَ الدَّيْنِ، فَحَسَبُوهُ فَوَجَدُوهُ سِتَّةً وَثَمَانِينَ أَلْفًا أَوْ نَحْوَهُ، قَالَ: إِنْ وَفَى لَهُ، مَالُ آلِ عُمَرَ فَأَدِّهِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ، وَإِلَّا فَسَلْ فِي بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ، فَإِنْ لَمْ تَفِ أَمْوَالُهُمْ فَسَلْ فِي قُرَيْشٍ، وَلاَ تَعْدُهُمْ إِلَى غَيْرِهِمْ، فَأَدِّ عَنِّي هَذَا المَالَ انْطَلِقْ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ، فَقُلْ: يَقْرَأُ عَلَيْكِ عُمَرُ السَّلاَمَ، وَلاَ تَقُلْ أَمِيرُ المُؤْمِنِينَ، فَإِنِّي لَسْتُ اليَوْمَ لِلْمُؤْمِنِينَ أَمِيرًا، وَقُلْ: يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ أَنْ يُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيْهِ، فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ، ثُمَّ دَخَلَ عَلَيْهَا، فَوَجَدَهَا قَاعِدَةً تَبْكِي، فَقَالَ [ص:17]: يَقْرَأُ عَلَيْكِ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ السَّلاَمَ، وَيَسْتَأْذِنُ أَنْ يُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيْهِ، فَقَالَتْ: كُنْتُ أُرِيدُهُ لِنَفْسِي، وَلَأُوثِرَنَّ بِهِ اليَوْمَ عَلَى نَفْسِي، فَلَمَّا أَقْبَلَ، قِيلَ: هَذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، قَدْ جَاءَ، قَالَ: ارْفَعُونِي، فَأَسْنَدَهُ رَجُلٌ إِلَيْهِ، فَقَالَ: مَا لَدَيْكَ؟ قَالَ: الَّذِي تُحِبُّ يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ أَذِنَتْ، قَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ، مَا كَانَ مِنْ شَيْءٍ أَهَمُّ إِلَيَّ مِنْ ذَلِكَ، فَإِذَا أَنَا قَضَيْتُ فَاحْمِلُونِي، ثُمَّ سَلِّمْ، فَقُلْ: يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ، فَإِنْ أَذِنَتْ لِي فَأَدْخِلُونِي، وَإِنْ رَدَّتْنِي رُدُّونِي إِلَى مَقَابِرِ المُسْلِمِينَ، وَجَاءَتْ أُمُّ المُؤْمِنِينَ حَفْصَةُ وَالنِّسَاءُ تَسِيرُ مَعَهَا، فَلَمَّا رَأَيْنَاهَا قُمْنَا، فَوَلَجَتْ عَلَيْهِ، فَبَكَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً، وَاسْتَأْذَنَ الرِّجَالُ، فَوَلَجَتْ دَاخِلًا لَهُمْ، فَسَمِعْنَا بُكَاءَهَا مِنَ الدَّاخِلِ، فَقَالُوا: أَوْصِ يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ، قَالَ: مَا أَجِدُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الأَمْرِ مِنْ هَؤُلاَءِ النَّفَرِ، أَوِ الرَّهْطِ، الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ، فَسَمَّى عَلِيًّا، وَعُثْمَانَ، وَالزُّبَيْرَ، وَطَلْحَةَ، وَسَعْدًا، وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ، وَقَالَ: يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَلَيْسَ لَهُ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ – كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ – فَإِنْ أَصَابَتِ الإِمْرَةُ سَعْدًا فَهُوَ ذَاكَ، وَإِلَّا فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ، وَلاَ خِيَانَةٍ، وَقَالَ: أُوصِي الخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي، بِالْمُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ، أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ، وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ، وَأُوصِيهِ بِالأَنْصَارِ خَيْرًا، {الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ} ، أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ، وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ، وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الأَمْصَارِ خَيْرًا، فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الإِسْلاَمِ، وَجُبَاةُ المَالِ، وَغَيْظُ العَدُوِّ، وَأَنْ لاَ يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلَّا فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ. وَأُوصِيهِ بِالأَعْرَابِ خَيْرًا، فَإِنَّهُمْ أَصْلُ العَرَبِ، وَمَادَّةُ الإِسْلاَمِ، أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ، وَيُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ، وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ، وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ، وَلاَ يُكَلَّفُوا إِلَّا طَاقَتَهُمْ، فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ، فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي، فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ، قَالَتْ: أَدْخِلُوهُ، فَأُدْخِلَ، فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ، فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إِلَى ثَلاَثَةٍ مِنْكُمْ، فَقَالَ الزُّبَيْرُ: قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَلِيٍّ، فَقَالَ طَلْحَةُ: قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عُثْمَانَ، وَقَالَ سَعْدٌ: قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَيُّكُمَا تَبَرَّأَ مِنْ هَذَا الأَمْرِ، فَنَجْعَلُهُ إِلَيْهِ وَاللَّهُ عَلَيْهِ وَالإِسْلاَمُ، لَيَنْظُرَنَّ أَفْضَلَهُمْ فِي نَفْسِهِ؟ فَأُسْكِتَ الشَّيْخَانِ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَفَتَجْعَلُونَهُ إِلَيَّ وَاللَّهُ عَلَيَّ أَنْ لاَ آلُ عَنْ أَفْضَلِكُمْ قَالاَ: نَعَمْ، فَأَخَذَ بِيَدِ أَحَدِهِمَا فَقَالَ: لَكَ قَرَابَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالقَدَمُ فِي [ص:18] الإِسْلاَمِ مَا قَدْ عَلِمْتَ، فَاللَّهُ عَلَيْكَ لَئِنْ أَمَّرْتُكَ لَتَعْدِلَنَّ، وَلَئِنْ أَمَّرْتُ عُثْمَانَ لَتَسْمَعَنَّ، وَلَتُطِيعَنَّ، ثُمَّ خَلاَ بِالْآخَرِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ، فَلَمَّا أَخَذَ المِيثَاقَ قَالَ: ارْفَعْ يَدَكَ يَا عُثْمَانُ فَبَايَعَهُ، فَبَايَعَ لَهُ عَلِيٌّ، وَوَلَجَ أَهْلُ الدَّارِ فَبَايَعُوهُ “
Setidaknya dari kisah ini kita dapat mengambil beberapa hikmah,
1. Setiap amanah yang kita emban (yang didapuk kepada kita) sudah sepatutnya kita kerjakan dengan penuh sk dermo (totalitas dan profesional).
2. Seorang Umar yang seorang penguasa ketika menjelang wafat berwasiat agar semua hutang-hutangnya dilunasi menggunakan harta pribdinya bukan harta sabilillah, bahkan Umar tidak memasukan anaknya sebagai kandidat kholifah setelahnya.
3. Kerendahan hati seorang Umar, walaupun dia disanjung atas jasanya dalam Islam justru ia hanya berharap seandainya Allah tidak menyiksa dirinya.
4. Masih sempat memberikan nasehat kepada Jamaahnya yang keliru untuk menaikkan celananya yang isbal/nglembreh.
5. Tetap santun dan takdhim kepada ummul mukminin Aishah yang meminta izin untuk dimakamkan di sebelah Sohabatnya, bahkan sekalipun Aishah sudah mengizinkan masih meminta kepastian lagi kepada Aishah.
6. Berwasiat yang baik kepada pengganti/Kholifah setelahnya untuk berbuat baik kepada semua orang Islam teutama orang-orang Ansor dan Muhajir serta orang lama yang telah banyak berjuang untuk Islam.
7. Hikmah lainnya yang pembaca bisa ambil sendiri hikmahnya.
Saudaraku, ada kisah menarik jauh sebelum Umar terbunuh. Yakni, ketika peristiwa perang Uhud dimana kala itu saat orang Iman terdesak munduk, kemudian menaiki gunung Uhud seketika gunung Uhud tersebut berguncang lalu Rosulullah bersabda
اثبت أُحُدُ فإنَّما عليكَ نبيٌّ وصدِّيقٌ وشَهيدانِ
“Tetaplah/tenang;ah wahai Uhud karena di atasmu ada Nabi, orang yang jujur (Abu Bakar) dan dua orang yang mati syahid (Umar dan Utsman)”
HR. Bukhori
Padahal tatkala Rosulullah mensabdakan hal itu Umar dan Utsman masih hidup, sungguh sebuah kabar nubuwah dari Rosulullah.
Sekiranya, demikian kisah mulia yang dapat kami berbagi ceritanya. Semoga kisah dan kenangan dari Singa Allah, Al-Faruq (pemisah barang haq dan baatil) ini bisa terus menginspirasi kita, memberikan semangat pada kita agar senantiasa menjadi pejuang-pejuang agamanya Allah kelak di masa yang akan datang.
Kendel ora nyedak ke umur, jireh ora ndwak ke umur
Menjadi pemberani tidak membuat umur pendek, dan menjadi penakut tidak membuat umur menjadi panjang
Alhamdulillahi Jazza Kumullahu Khoiro
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Yogyakarta, 20 Juli 2022
KataCakAkbar