السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Al-Qur’an Sebagai Pedom Manusia Sepanjang Zaman
Menafsirkan Al-Qur’an tidaklah sama dengan hanya sekedar menerjemahkan. Ada kaidah-kaidah/aturan tertentu yang harus dipenuhi agar hikmah daripada Al-Qur’an itu sendiri dapat tersampaikan menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa.
هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
“(Al-Qur’an itu) menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa”
QS. Al-Baqoroh:2
Selain itu Al-Qur’an yang Allah turunkan ini mudah untuk dipelajari dan menjadi pedoman
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”
QS. Al-Qomar:17
Terlebih kitab suci pegangan umat Muslim sepanjang zaman ini tidak akan pernah lekang oleh waktu. Sehingga muatan apa yang terkandung di dalamnya tidak akan pernah usang di makan waktu.
Jika kita amati, Islam yang dikenal dewasa ini sejatinya muncul dari satu orang yakni Rosulullah Muhammaad Sollawlahu alaihi wasallam. Semua persolan umat kala itu bermuara pada Rosulullah yang senantiasa dituntun wahyu dari Allah.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ.إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Alquran ) menurut keinginannya. Tidak lain (Alquran itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
QS. An-Najm: 3-4
إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ
“Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.”
QS. Al-An’am:50
Namun, pasca wafatnya Rosulullah sohabat menjadi seperti kehilangan kiblat tempat bertanya kaarena dengan wafatnya Rosulullah praktis wahyu telah terputus. Namun demikian Rosulullah telah berpesan kepada sohabatnya
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Hakim)
Dengan kata lain, jika kita betul-betul berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist/Sunna niscaya kita aka selamat dan tidak akan tersesat.
Persoalan utamanya, Al-Qur’an dan Hadist di sini tidak semua orang dapat membaca maksud dari butiran-butiran pesan yang ada di dalamnya. Terlebih Al-Qur’an sebagai buku petunjuk yang berupa narasi-narasi perintah, larangan, dan cerita-cerita dari Allah sukar dipahami terlebih bagi orang awam. Terlebih kita yang hidup ribuan tahun pasca Al-Qur’an itu sempurna diturunkan tentu akan buta arah memahami maksud daripada Al-Qur’an itu sendiri.
Tafsir Al-Qur’an
Secara bahasa, kata tafsir tidak bisa serta merta diartikan sebagai menerjemahkan. Lebih dalam lagi, tafsir itu sendiri ialah kegiatan memahami suatu kandungan dengan pemahaman yang menyeluruh (komprehensif) dan utuh (holistik). Jika kata tafsir disandingkan dengan suatu objek dalam hal ini Al-Qur’an maka bermakna memahami kandungan Al-Qur’an dengan pemahaman yang menyeluruh dan utuh. Sampai di sini kegiatan tafsir itu sendiri jelas jauh berbeda dari hanya “sekedar menerjemahkan”.
Dikatakan memahami secra menyeluruh, karena dalam menafsirkan Al-Qur’an itu sendiri harus mengerti dari hulu ke hilir dari mulai mengapa ayat tersebut diturunkan (sababunnuzul), tentang peristiwa apa ayang tersebut diturunkan. Dikatakan memahami secara utuh, yakni adakalanya suatu ayat Al-Qur’an itu sendiri tidak dapat berdiri utuh dalam sebuah ayat. Perlu disandingkan dengan ayat yang lain atau bahkan ayat tersebut diganti (mansukh) dengan ayat lain.
Tafsir Bil-Ma’tsur & Bil-Ra’yi
Dalam sejarah perkembangan Islam itu sendiri, cara menafsirkan Al-Qur’an paling awal adalah tafsir secara riwayat/bil-ma’tsur. Maksud sederhana dari metode ini adalah, menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, mengganti hukum (mansukh) ayat Al-Qur’an satu dengan ayat Al-Qur’an yang lain (Nasikh). Menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan hadist-hadist nabi dan paling jauh ialah dengan menggunakan tafsir/pemahaman para sohabat. Hal itu dikarenakan para sohabat sangat mengerti betul saat-saat Al-Qur’an itu diturunkan sehingga pemahaman/tafsir mereka atas Al-Qur’an dapat dipertanggung jawabkan (kredibel).
Maka jika kita mengamati dalam setiap kajian, kerap kali Mubaligh yang mengajar menjelaskan ayat ini persamaannya pada ayat ini. Ayat ini mansukh, nasikhnya ayat ini. Ayat ini berdasarkan hadist nabi seperti ini, seperti ini. Ayat ini menurut sohabat Ibnu Abbas seperti ini. Tanpa disadari secara langsung
خيركم قرنى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يكون بعدهم قوم يشهدون ولا يستشهدون ويخونون ولا يؤمنون وينذرون ولا يوفون ويظهر السمن
“Sebaik baik kalian adalah generasiku (Sohabat), kemudian disusul generasi berikutnya (tabi’in), kemudian generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in), kemudian setelah itu muncul kaum yang bersaksi dan tak diminta kesaksiannya, berkhianat dan tidak bisa dipercaya, bernadzar tidak bisa memenuhinya, merajalela kegemukan dari sumber makanan haram”
HR. Bukhori
Tafsir Bil-ro’yi
Persoalan berikutnya adalah, dinamika perkembangan zaman yang terus berubah dan upaya mengejawantahkan agar Al-Qur’an dapat “relavan” di sepanjang zaman serta persoalan-persoalan baru yang belum banyak terbahas pada era Rosulullah dan Sohabat menjadikan para Ulama setelahnya berusaha menggunakan akal dan budinya dan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai rujukan primernya. Aktivitas inilah yang kemudian disebut tafsir bil-ro’yi atau menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya. Dalam perjalan awalnya, ulama-ulama yang menggunakan metode ini sangat berhati-hati (muatawari’) dalam setiap argumen yang disampaikannya betul-betul bersumber pada nash-nash Al-Qur’an itu sendiri. Pada perjalanannya metode ini berkembang menjadi banyak cabang bahkan sub-cabang seperti tafsir tadaburi, tafsir maqshidi, dan sejenisnya. Namun, seiring berjalannya waktu kaidah-kaidah utama dalam metode ini menjadi tidak diindahkan dan prisnip tetap berpengang pada sumber yang utama menjadi terdistorsi sehingga orang secara “liar” menafsirkan Al-Qur’an.
Itulah sebabnya para Ulama membagi aktivitas ini menjadi dua, yakni ro’yu mahmudah (terpuji) dan ro’yu matsmumah (tercela). Terpuji di sini ketika argumentasi yang dipakai menggunakan sumber primer (Al-Qur’an dan Sunnah) serta sumber pendukung seperti fatwa para Sohabat dan generasi terbaik setelahnya (tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Sebaliknya yang betul-betul murni menggunakan akal pikirannya (orang Jawa mengatakan otak atik gatuk/asal bunyi/asal nyambung) itulah pendapatan yang tercela (ro’yu matsmumah). Hal itulah yang telah jauh-jauh hari Rosulullah peringatkan
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan pendapat/logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi)
Acap kali, orang-orang yang menggunakan dalih menafsirkan cara ini sebagai legitmasi hawa nafsu mereka belaka saja serta menormalisasikan perbuatan amoral yang kerap terjadi dewasa ini, seperti LGBT. Beberapa aktivisi yang menyuarakan normalisasi LGBT mencari legitmasi dari Al-Qur’an yang mengaitkan dengan surat An-Nur ayat 31
أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ
“atau pada para atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)”
QS. An-Nur:31
Ayat tersebut dengan serampangan dikatakan sebagai ayat pelegalan seks sesama jenis, dikarenakan dalam Al-Qur’an saja mengakui adanya laki-laki yang tidak berhasrat pada perempuan, begitu papar mereka. Naudhubillahi mindzalik.
Belum lagi sekelompok orang Islam yang mengatasnamakan Islam liberal, dimana mereka dengan semaunya sendiri menafsirkan Al-Qur’an dengan dalih “mengikuti perkembangan zaman” akhirnya tafsir Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, mereka lakukan sugar coating agar terlihat relevan dan modern.
Perilaku seperti itu mencerminkan kelakuan orang ahli kitab sebelumnya yang mereka memilih sesuka hati ayat yang mau mereka imani,
اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ
“Apakah kalian (hanya mau) mengimani sebagian Kitab dan mengkufuri (tidak mau mengimani) sebagian yang lain?”
QS. Al-Baqoroh:85
Padahal perintah dari Allah adalah ikuti perintah yang Allah Rosul sampaikan dan jauhi apa yang Allah Rosul larang, se simple itu.
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
QS. Al-hasyr:7
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.”
HR. Muslim
Penutup
Jika dilihat dari ke dua metode tafsir yang telah disebutkan, paka pendekatan tafsir dengan bil-ma’tsur adalah yang paling aman dan selamat. Mengapa? Karena metode itulah yang digunakan oleh Nabi para Sohabat dan generasi terbaik setelahnya. Memang tidak dapat dinafikan pendekatan bil-ro’yi dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi tertentu misalnya ijtihad dan qiyas namun prinsip yang harus dipegang sangatlah ketat. Pada akhirnya segelintir manusia yang belum memahami akan menganggap cara yang aman ini sebagai cara yang kaku, tidak modern, kuno, dan ketinggalan zaman. Namun, ketauhilah cara yang seperti itulah cara yang terbaik yang di sebut “Sirotol mustaqim” yang dapat mengantar kita pada keridhoan-NYA.
وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.”
QS. Al-An’am:153
Sebagaimana, misal, kita hendak pergi ke Surabaya dari yogyakarta. Selama perjalanan sudah jelas ada petunjuk jalan yang mengarahkan kita ke Surbaya, lantas kalau kita mengambil jalan yang tidak ditunjukkan apakah kita bisa sampai pada tujuan?
Semoga Allah memberikan manfaat dan barokah
Alhamdulillahi Jazza Kumullahu Khoiro
Yogyakarta, 28 Oktober 2022
KataCakAkbar
“In secular world innovative and liberal, but in religious matter traditionalist and textualist”