BERSODAQOH DI HARI RAYA FITRI
Hari raya fitri, menjadi momen yang berkesan bagi setia Muslimin yang merayakannya. Banyak momen terjadi pada hari-hari itu, seperti berkunjung kepada sanak famili (silatutrahim), saling bermaaf-maafan, saling memberi hadiah dan tak lupa berbagi salam tempel kepada kemenakan. Nah, berbagi salam tempel pada kemenakan kendati bukan perkara yang diwajibkan syariat, setidaknya hal tersebut sebagai bentuk sodaqoh/infaq yang terbaik, sebab termasuk sebaik-baiknya bersedeqah ialah kepada keluarganya sendiri, berdasarkan sabda Rosulullah ﷺ
وقد
قال صلى الله عليه و سلم ما أنفقه الرجل على أهله فهو صدقة وإن الرجل ليؤجر في اللقمة
يرفعها إلى في امرأته
Nafkah yang diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya menjadi sodaqoh. Sungguh, seseorang diberi pahala karena meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam mulut keluarganya’” (HR. Bukhori).
ابْدَأْ
بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ
عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ
فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ
"Mulailah dari dirimu dan bersedekahlah atasnya, jika terdapat kelebihan maka berikanlah pada keluargamu, jika terdapat kelebihan maka berikanlah pada kaum kerabatmu, jika masih terdapat kelebihan maka berikan pada orang yang di depanmu, di kanan dan kirimu.” (HR. Bukhori)
Sehingga
bukan menjadi sebuah bid’ah dalam berbagi salam tempel pada kemenakan di
momen-momen hari raya fitri sebab anjuran bersodaqoh kepada keluarga dan sanak
famili yang diajarkan Rosulullah tidak terikat dengan kondisi dan waktu.
Terlebih, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mereka memiliki uang yang
lebh tatkala di momen hari raya fitri nya umat Islam. Sebab pada hari itu
mereka mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) alias bonus tahunan atau gaji
ke-13.
BERSODAQOH KE PARA KEMENAKAN
Dikarenakan
pada momen hari fitri banyak keluarga besar yang saling berkunjung atau
berkumpul di tempat-tempat tertentu (di rumah Kakek-Nenek misal) , tak jarang
ada kemenakan-kemenakan yang juga ikut disana. Biasanya, kemenakan yang masih
usia belia dan belum bekerjalah yang sering mendapatkan salam tempel.
Hanya saja, kemenakan yang biasa datang kadang tidak bisa dihitung dengan jari
(banyak) dan tentu, budget THR yang juga harus dibagi sana-sini harus
diatur dengan ciamik agar semua dapat, semua senang. Maka, kemenakan yang masih
belia-belia tersebut, biasanya, mendpat salam tempel yang realtif tidak
banyak. Ada yang 5 ribu-an, 10 ribu-an, 20 ribu-an dan sejenisnya. Sehingga
pada momen-momen tersebut di tepi jalan-jalan protokoler lazim terlihat bapak-bapak/ibu-ibu
paruh baya nangkring berjejer sembari menangadahkan segepok uang (ada
yang berisi pecahan 5 ribu-an, 10 ribu-an, 20 ribu-an, dan sejenisnya) kepada
segenap insan yang berlalu lalang di sekitarnya. Apa maksudnya?
MENUKAR PECAHAN UANG
Ternyata,
mereka tidak sedang menawarkan sodaqoh tapi menawarkan jasa bagi yang mau
menukarkan uangnya dalam bentuk pecahan yang lebih kecil. Misal 100 ribu satu
lembar merah ditukar 2 ribuan sebanyak 50 lembar. Berdasarkan survei yang saya
temui setiap satu bundle uang pecahan 100 ribu misal, mereka meminta
tarif 10 ribu rupiah sebagai profit marginnya. Loh, apa itu tidak riba?
BOLEHKAH BERTRANSAKSI SEPERTI ITU?
Untuk
menguraikan persoalan ini, setidaknya harus memahami duduk persoalannya. Apakah
transaksi seperti itu menjadikan uang sebagai objek transakisnya atau jasa yang
sebagai objek transaksinya. Jika kedua hal tersebut bisa dibedakan maka berbeda
pula kesimpulan hukumnya. Jika, dalam kasus tadi menukar uang 100 ribu rupiah
dengan uang 5 ribu an dan harus bayar tarif 10 ribu, jelas itu menjadi riba
yang dikategorikan sebagai riba fadl. Sebab pertukaran barang ribawi itu
harus yadan bi yadin (kontan
dengan kontan), mitslan bi mitslin (semisal/sejenis dengan sejenis). Landasan
hukum tersebut berdasarkan dalil,
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ
زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“emas
dijual/ditukar dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
HR. Muslim
Dalam
pendekatan qiyas/analogi emas disamakan dengan uang (rupiah) hari ini
dikarenakan kesamaan illat/penyebabnya sebagai alat tukar. Sehingga jika
dalam kasus nuker/memecah uang disertai dengan meminta lebihan atau dikurangi, jika
objeknya adalah uang itu sendiri maka tergolong sebgai riba/riba fadl.
Tapi…
Lain
cerita kalau yang dijadikan objek transaksi itu adalah jasanya. Maksudnya
begini, sebetulnya kita (secara mandiri) juga bisa menukarkan uangnya langsung
ke Bank Umum (Bank Swasta/Pemerintah) atau di Bank Indonesia (Bank Sentral).
Hanya saja, mungkin kita tidak sempat (Sibuk, malas, dan sebagainya). Mereka
yang menawarkan jasa penukaran uang itu menjadikan tarif 10 ribu rupiah tadi
sebagai “jasa” sebagai bentuk kompensasi karena sudah berkeluh payah menukarkan
uangnya itu di Bank.
Pie
Cak ora mudeng?
Analoginya
begini, saya punya uang 100 ribu di Bank A karena saya harus bayar utang di
teman saya di Bank B yang beda bank sehingga saat saya transfer saya dikenakan
biaya transfer sebesar 7 ribu rupiah. Loh apa tidak riba? Uang 7 ribu tidak
ibarat uang jalan/jasa saya kepada Bank A karena mereka mengeluarkan teknologi,
sumber daya manusia, dan sejenisnya untuk mentransfer uang saya ke Bank B.
Akad
seperti ini dalam teori Ekonomi Islam adalah akad wakalah bil ujroh yang
jika diterjemahkan menjadi mewakilkan suatu pekerjaan dengan memberi upah.
Contoh begini, ada anak kecil saya perintah “cil, amal solih belikan bakso
nanti saya kasih duit 5 ribu”. Jadi saya mewakilkan pekerjaan membelikan bakso
kepada anak kecil tadi dengan diberikan upah/imbalan sebesar 5 ribu rupiah
tadi. Boleh bukan?
Landasan
dalil dibolehkannya akad tersebut berdasarkan dalil
عَنْ
عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا
يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ
وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ
اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ
Dari
Urwah al Bariqi Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ memberinya
satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut,
dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing
seharga satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui Nabi ﷺ dengan membawa seekor
kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasûlullâh ﷺ mendoakan
keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu,
niscaya ia mendapatkan laba darinya.
Dalam hadis lain,
عَنْ أَبِيْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: اِسْتَعْمَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَألِهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنَ اْلأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِيْ سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ
"Diriwayatkan
dai Abu Humaid al-Sa'idi, ia berkata: Rasulullah ﷺ mengangkat seorang laki-laki
dari suku Asd bernama Ibn Lutbiyah sebagai amil (petugas) untuk menarik zakat
dari Bani Sulaim; ketika pulang (dari tugas tersebut), Rasulullah mencukupinya
(diberi imbalan)."
Hadis
di atas selain menunjukkan kepiawaian Sohabat Urwah dalam bernegoisasi dan
sohabat yang menjadi amil juga, setikdanya menjelaskan dua hal
1. Rosulullah
ﷺ mewakilkan suatu pekerjaan kepada Urwah untuk membeli kambing dan rojul dari
suku Asd untuk menarik zakat (wakalah)
2. Pada kasus Urwah Nabi tidak memberikan upah, pada kasus rojul tadi Nabi memberi upah
Sebagai pelengkap, salah satu Ulama
yang kerap menjadi rujukan Madzhab Hambali (Ibnu Qudamah) mengekstrasikan dari
hadis di atas menjadi sebuah produk hukum (fatwa) atas dibolehkannya wakalah
bil ujroh tadi, Beliau mengatakan dalam kitab Al-Mughni
وَيَجُوْزُ
التَّوْكِيْلُ بِجُعْلٍ وَغَيْرِ جُعْلٍ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَألِهِ وَسَلَّمَ وَكَّلَ أُنَيِسًا فِيْ إِقَامَةِ الْحَدِّ، وَعُرْوَةَ فِيْ شِرَاءِ
شَاةٍ، وَأبَا رَافِعٍ فِيْ قَبُوْلِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ جُعْلٍ؛ وَكَانَ يَبْعَثُ
عُمَّالَهُ لِقَبْضِ الصَّدَقَاتِ وَيَجْعَلُ لَهُمْ عُمَالَةً
"Akad
taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa
imbalan. Hal itu karena Nabi ﷺ pernah mewakilkan kepada Unais untuk
melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi'
untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberi-kan imbalan. Nabi pernah
juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau
memberikan imbalan kepada mereka."
Eits…
urung rampung (belum selesai)
MUWAKKIL
DAN WAKIL
Pembahasannya
belum berhenti pada,”ooooo, boleh toh Cak nuker duit yang dipinggir jalan
itu?”. Pada akad Wakalah bil Ujroh tadi akan sah terjadi setidaknya
harus ada dua unsur yang mewakili
-
Wakil
(orang/pihak yang dipasrahi/diberi amanah)
-
Muwakkil
(Orang/pihak yang memberi kuasa)
Dalam
kasus transfer bank tadi, kenapa tidak dikategorikan riba? Sebab dalam hal ini
ada nasabah sebagai muwakkil memasrahkan kepada bank A sebagai Wakil
untuk mentransferkan uangnya ke Bank B yang berbeda bank. Sebabnya kalau ente
transfer beda bank akan ada notif sebelum di transfer
“Uang
anda sebesar xxx di transfer ke bank x dengan biaya admin xx” itu pertanda kita
sebagai nasabah sudah mewakilkan uang kita kepada bank untuk dilaksanakan
Pada
kasus nuker uang tadi terjadi pengaburan akad (akad yang tidak jelas kapan
dimulai dan akhirinya), sehingga terkesan menukar uang di pinggir jalan tadi
seperti jual beli uang.
Sehingga
agar jelas menjadi akad wakalah bil ujroh tadi, pelanggan harus bilang
begini “Pak, ini saya ada uang 1 juta tukerin jadi 10 ribuan di Bank A ya”, si
Bapak bilang “oke mas, tapi saya minta uang jalan 100 ribu ya?”
Atau
ya, dibuatkan skenario seakan-akan terjadi akad wakalah bil ujroh, misal
“mas ini saya ada uang pecahan 100 ribu isi 2 ribu an, mau nuker nda tapi saya
minta ganti kompensasi ngantri di Bank nya tadi 10 ribu ya?” hal tersebut
tidaklah riba, sebab 10 ribu tadi sebagai kompensasi jasa dia menukarkan uang
tadi. Lain cerita kalau 10 ribu tadi tidak jelas atas dasar apa dikenakannya
tarif itu, baru itu yang dinamakan riba.
Kalau
kita kembali lagi pada definisi riba, Riba secara bahasa bermakna ziyadah
(tambahan). Adapun menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil.
Jadi,
gimana hukumnya menukar uang di pinggir jalan disertai dengan tarif tadi?
Simpulkan sendiri jawaban mu.
Sekian,
semoga ada manfaatnya
Yogyakarta,
4 April 2024
KataCakAkbar