√ Menukar Uang di Hari Raya - Cak Akbar

Menukar Uang di Hari Raya

Daftar Isi [Tampil]

     


    BERSODAQOH DI HARI RAYA FITRI

    Hari raya fitri, menjadi momen yang berkesan bagi setia Muslimin yang merayakannya. Banyak momen terjadi pada hari-hari itu, seperti berkunjung kepada sanak famili (silatutrahim), saling bermaaf-maafan, saling memberi hadiah dan tak lupa berbagi salam tempel kepada kemenakan. Nah, berbagi salam tempel pada kemenakan kendati bukan perkara yang diwajibkan syariat, setidaknya hal tersebut sebagai bentuk sodaqoh/infaq yang terbaik, sebab termasuk sebaik-baiknya bersedeqah ialah kepada keluarganya sendiri, berdasarkan sabda Rosulullah ﷺ 

    وقد قال صلى الله عليه و سلم ما أنفقه الرجل على أهله فهو صدقة وإن الرجل ليؤجر في اللقمة يرفعها إلى في امرأته

    Nafkah yang diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya menjadi sodaqoh. Sungguh, seseorang diberi pahala karena meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam mulut keluarganya’” (HR. Bukhori).

    ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ

    "Mulailah dari dirimu dan bersedekahlah atasnya, jika terdapat kelebihan maka berikanlah pada keluargamu, jika terdapat kelebihan maka berikanlah pada kaum kerabatmu, jika masih terdapat kelebihan maka berikan pada orang yang di depanmu, di kanan dan kirimu.” (HR. Bukhori)

    Sehingga bukan menjadi sebuah bid’ah dalam berbagi salam tempel pada kemenakan di momen-momen hari raya fitri sebab anjuran bersodaqoh kepada keluarga dan sanak famili yang diajarkan Rosulullah tidak terikat dengan kondisi dan waktu. Terlebih, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mereka memiliki uang yang lebh tatkala di momen hari raya fitri nya umat Islam. Sebab pada hari itu mereka mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) alias bonus tahunan atau gaji ke-13.

    BERSODAQOH KE PARA KEMENAKAN

    Dikarenakan pada momen hari fitri banyak keluarga besar yang saling berkunjung atau berkumpul di tempat-tempat tertentu (di rumah Kakek-Nenek misal) , tak jarang ada kemenakan-kemenakan yang juga ikut disana. Biasanya, kemenakan yang masih usia belia dan belum bekerjalah yang sering mendapatkan salam tempel. Hanya saja, kemenakan yang biasa datang kadang tidak bisa dihitung dengan jari (banyak) dan tentu, budget THR yang juga harus dibagi sana-sini harus diatur dengan ciamik agar semua dapat, semua senang. Maka, kemenakan yang masih belia-belia tersebut, biasanya, mendpat salam tempel yang realtif tidak banyak. Ada yang 5 ribu-an, 10 ribu-an, 20 ribu-an dan sejenisnya. Sehingga pada momen-momen tersebut di tepi jalan-jalan protokoler lazim terlihat bapak-bapak/ibu-ibu paruh baya nangkring berjejer sembari menangadahkan segepok uang (ada yang berisi pecahan 5 ribu-an, 10 ribu-an, 20 ribu-an, dan sejenisnya) kepada segenap insan yang berlalu lalang di sekitarnya. Apa maksudnya?

    MENUKAR PECAHAN UANG

    Ternyata, mereka tidak sedang menawarkan sodaqoh tapi menawarkan jasa bagi yang mau menukarkan uangnya dalam bentuk pecahan yang lebih kecil. Misal 100 ribu satu lembar merah ditukar 2 ribuan sebanyak 50 lembar. Berdasarkan survei yang saya temui setiap satu bundle uang pecahan 100 ribu misal, mereka meminta tarif 10 ribu rupiah sebagai profit marginnya. Loh, apa itu tidak riba?

    BOLEHKAH BERTRANSAKSI SEPERTI ITU?

    Untuk menguraikan persoalan ini, setidaknya harus memahami duduk persoalannya. Apakah transaksi seperti itu menjadikan uang sebagai objek transakisnya atau jasa yang sebagai objek transaksinya. Jika kedua hal tersebut bisa dibedakan maka berbeda pula kesimpulan hukumnya. Jika, dalam kasus tadi menukar uang 100 ribu rupiah dengan uang 5 ribu an dan harus bayar tarif 10 ribu, jelas itu menjadi riba yang dikategorikan sebagai riba fadl. Sebab pertukaran barang ribawi itu harus yadan bi yadin  (kontan dengan kontan), mitslan bi mitslin (semisal/sejenis dengan sejenis). Landasan hukum tersebut berdasarkan dalil,

     

    الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

    “emas dijual/ditukar dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
    HR. Muslim

    Dalam pendekatan qiyas/analogi emas disamakan dengan uang (rupiah) hari ini dikarenakan kesamaan illat/penyebabnya sebagai alat tukar. Sehingga jika dalam kasus nuker/memecah uang disertai dengan meminta lebihan atau dikurangi, jika objeknya adalah uang itu sendiri maka tergolong sebgai riba/riba fadl.

    Tapi…

    Lain cerita kalau yang dijadikan objek transaksi itu adalah jasanya. Maksudnya begini, sebetulnya kita (secara mandiri) juga bisa menukarkan uangnya langsung ke Bank Umum (Bank Swasta/Pemerintah) atau di Bank Indonesia (Bank Sentral). Hanya saja, mungkin kita tidak sempat (Sibuk, malas, dan sebagainya). Mereka yang menawarkan jasa penukaran uang itu menjadikan tarif 10 ribu rupiah tadi sebagai “jasa” sebagai bentuk kompensasi karena sudah berkeluh payah menukarkan uangnya itu di Bank.

    Pie Cak ora mudeng?

    Analoginya begini, saya punya uang 100 ribu di Bank A karena saya harus bayar utang di teman saya di Bank B yang beda bank sehingga saat saya transfer saya dikenakan biaya transfer sebesar 7 ribu rupiah. Loh apa tidak riba? Uang 7 ribu tidak ibarat uang jalan/jasa saya kepada Bank A karena mereka mengeluarkan teknologi, sumber daya manusia, dan sejenisnya untuk mentransfer uang saya ke Bank B.

    Akad seperti ini dalam teori Ekonomi Islam adalah akad wakalah bil ujroh yang jika diterjemahkan menjadi mewakilkan suatu pekerjaan dengan memberi upah. Contoh begini, ada anak kecil saya perintah “cil, amal solih belikan bakso nanti saya kasih duit 5 ribu”. Jadi saya mewakilkan pekerjaan membelikan bakso kepada anak kecil tadi dengan diberikan upah/imbalan sebesar 5 ribu rupiah tadi. Boleh bukan?

    Landasan dalil dibolehkannya akad tersebut berdasarkan dalil

    عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ

    Dari Urwah al Bariqi Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seharga satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui Nabi ﷺ dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasûlullâh ﷺ mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya.

    Dalam hadis lain,

    عَنْ أَبِيْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: اِسْتَعْمَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَألِهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنَ اْلأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِيْ سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ 

    "Diriwayatkan dai Abu Humaid al-Sa'idi, ia berkata: Rasulullah ﷺ mengangkat seorang laki-laki dari suku Asd bernama Ibn Lutbiyah sebagai amil (petugas) untuk menarik zakat dari Bani Sulaim; ketika pulang (dari tugas tersebut), Rasulullah mencukupinya (diberi imbalan)."

    Hadis di atas selain menunjukkan kepiawaian Sohabat Urwah dalam bernegoisasi dan sohabat yang menjadi amil juga, setikdanya menjelaskan dua hal

    1.     Rosulullah ﷺ mewakilkan suatu pekerjaan kepada Urwah untuk membeli kambing dan rojul dari suku Asd untuk menarik zakat (wakalah)

    2.   Pada kasus Urwah Nabi tidak memberikan upah, pada kasus rojul tadi Nabi memberi upah

    Sebagai pelengkap, salah satu Ulama yang kerap menjadi rujukan Madzhab Hambali (Ibnu Qudamah) mengekstrasikan dari hadis di atas menjadi sebuah produk hukum (fatwa) atas dibolehkannya wakalah bil ujroh tadi, Beliau mengatakan dalam kitab Al-Mughni

     

    وَيَجُوْزُ التَّوْكِيْلُ بِجُعْلٍ وَغَيْرِ جُعْلٍ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَألِهِ وَسَلَّمَ وَكَّلَ أُنَيِسًا فِيْ إِقَامَةِ الْحَدِّ، وَعُرْوَةَ فِيْ شِرَاءِ شَاةٍ، وَأبَا رَافِعٍ فِيْ قَبُوْلِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ جُعْلٍ؛ وَكَانَ يَبْعَثُ عُمَّالَهُ لِقَبْضِ الصَّدَقَاتِ وَيَجْعَلُ لَهُمْ عُمَالَةً

    "Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi ﷺ pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi' untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberi-kan imbalan. Nabi pernah juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka."


    Eits… urung rampung (belum selesai)

    MUWAKKIL DAN WAKIL

    Pembahasannya belum berhenti pada,”ooooo, boleh toh Cak nuker duit yang dipinggir jalan itu?”. Pada akad Wakalah bil Ujroh tadi akan sah terjadi setidaknya harus ada dua unsur yang mewakili

    -         Wakil (orang/pihak yang dipasrahi/diberi amanah)

    -         Muwakkil (Orang/pihak yang memberi kuasa)

    Dalam kasus transfer bank tadi, kenapa tidak dikategorikan riba? Sebab dalam hal ini ada nasabah sebagai muwakkil memasrahkan kepada bank A sebagai Wakil untuk mentransferkan uangnya ke Bank B yang berbeda bank. Sebabnya kalau ente transfer beda bank akan ada notif sebelum di transfer

    “Uang anda sebesar xxx di transfer ke bank x dengan biaya admin xx” itu pertanda kita sebagai nasabah sudah mewakilkan uang kita kepada bank untuk dilaksanakan

    Pada kasus nuker uang tadi terjadi pengaburan akad (akad yang tidak jelas kapan dimulai dan akhirinya), sehingga terkesan menukar uang di pinggir jalan tadi seperti jual beli uang.

    Sehingga agar jelas menjadi akad wakalah bil ujroh tadi, pelanggan harus bilang begini “Pak, ini saya ada uang 1 juta tukerin jadi 10 ribuan di Bank A ya”, si Bapak bilang “oke mas, tapi saya minta uang jalan 100 ribu ya?”

    Atau ya, dibuatkan skenario seakan-akan terjadi akad wakalah bil ujroh, misal “mas ini saya ada uang pecahan 100 ribu isi 2 ribu an, mau nuker nda tapi saya minta ganti kompensasi ngantri di Bank nya tadi 10 ribu ya?” hal tersebut tidaklah riba, sebab 10 ribu tadi sebagai kompensasi jasa dia menukarkan uang tadi. Lain cerita kalau 10 ribu tadi tidak jelas atas dasar apa dikenakannya tarif itu, baru itu yang dinamakan riba.

    Kalau kita kembali lagi pada definisi riba, Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Adapun menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

    Jadi, gimana hukumnya menukar uang di pinggir jalan disertai dengan tarif tadi?

    Simpulkan sendiri jawaban mu.

    Sekian, semoga ada manfaatnya

    Yogyakarta, 4 April 2024

    KataCakAkbar

    Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

    Hai

    Klik Kontak Whatsapp Di Bawah Ini Untuk Mulai Mengobrol

    Pemilik Cak Akbar
    +6282136116115
    Call us to +6282136116115 from 0:00hs a 24:00hs
    Hai, ada yang bisa saya bantu?
    ×
    Tanya Kami