Pendahuluan
Jika
kita merunut catatan sejarah, peradaban manusia (Homo Sapiens) dimulai
sekitar 30.000 tahun silam di sekitaran Sungai Indus suatu daerah di
Mesopotamia kuno yang kini menjadi bagian dari negara Irak. Peradaban manusia
dimulai ketika adanya revoluis kognitif, dimana manusia yang semula merupakan
generasi yang berburu dan meramu (nomaden), mulai menetap dan mengembangkakn
agrikultur yang mengakibatkan perkembangan peradaban manusia kian “berveolusi”
dari waktu ke waktu.
Dalam
sejarah yang panjang tersebut, akibat dari revolusi kognitif, manusia semakin
terampil dalam menggunakan anggota tubuhnya (tangan, kaki, pikiran) menjadi
lebih efektif dan efisien sehingga banyak menciptakan pelbagai perkakas guna
mempermudah kehidupan manusia. Menggerakan anggota tubuh untuk menghasilkan
sesuatu itulah yang disebut bekerja, sebagaimana definsi bekerja dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti melakukan sesuatu. Dalam bahasa
praktis, bekerja merupakan fitrah manusia sejak Allah menciptakan Nabi Adam Alaihissalam
sebagai Khalifah/peramut di bumi. Terdapat suatu riwayat bahwa bapak
daripada seluruh manusia/abbul basyar dalam prespektif teologi
berprofesi sebagai petani. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas rodiyallahu
anhu
أحدثك
عن آدم إنه كان عبدا حراثا
“Aku (Ibnu Abbas) bercerita kepadamu (murid)
bahwasanya Adam adalah seorang hamba yang bertani”
HR. Hakim dalam Al-Mustadrok
sehingga
bekerja di samping memenuhi kebutuhan domestiknya dalam keberlangsungan hidup
juga bernilai ibadah. Sebagaimana sabda Rosulullah ﷺ
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih
baik daripada hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam
makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)”
HR. Bukhori
Bahkan
terdapat ancaman yang serius bagi insan yang malas bekerja padahal dia mampu
dan tidak dalam keadaan faqir (membutuhkan/miskin yang sangat) sebagaimana
sabda Rosulullah ﷺ
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْر
“Barangsiapa yang meminta-minta padahal ia tidak fakir
maka seakan-seakan ia memakan bara api”
HR. Ahmad
أن يحتطب أحدكم حزمة على ظهره، خير له من أن يسأل أحدا فيعطيه
أو يمنعه
“Sungguh, seorang yang bekerja memikul seikat kayu
bakar di punggungnya, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang
lain, (jika dia meminta-minta) adakalanya orang itu memberinya atau tidak
memberinya.”
HR. Bukhori dan Muslim (Mutafaqun Alaih)
Bahkan
Rosulullah ﷺ memberikan penghargaan bagi hamba yang bekerja untuk menafkahi
keluarga dan orang tuanya sebagai Jihad fii sabilillah,
أنَّه مر على النبي
صلى الله عليه وسلم رجلٌ، فرأى أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم من جَلَدِه ونشاطِه،
فقالوا: يا رسول الله، لو كان هذا في سبيلِ الله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
(إن كان خرجَ يسعى على وَلَدِه صِغارًا، فهو في سبيل الله، وإن كان خرج يسعى على أبوين
شيخين كبيرين، فهو في سبيل الله،
“Seorang sahabat pernah berpapasan dengan Nabi ﷺ, lalu
para sahabat juga turut melihat sahabat tadi warna kulitnya legam dan sangat
rajin, mereka pun berkata, “Wahai Rasululullah, seandainya (pria semacam ini)
ikut berjihad. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Jika dia keluar rumah untuk
menafkahi anaknya yang kecil dia (jihad) di jalan Allah, jika dia keluar untuk
menafkah dua orang tuanya yang sudah renta, dia di jalan Allah”
(HR.
Ath-Thabrani)
Sehingga
dalam narasi muqoddimah/pendahuluan ini menegaskan bahwa bekerja
merupakan tindakan yang baik, mulia, lagi terpuji selagi semua dikerjakan
dengan Halalaln Toyyiban.
A Wanita Bekerja, Bolehkah?
Pembahasan
ini tentu acap kali menjadi perselisihan Ulama dan Fuqoha sepanjang zaman.
Tentu, ada sebagian yang membolehkan, sebagian lain menganggap hal tersebut
sebagai makruh (dibenci), bahkan ada yang sampai mengharamkan. Kesemuanya tentu
memiliki dasar argumentasinya masing-masing, dan tentu jika persoalan ini
dikategorikan sebagai muammalah (sosial) perbedaan tersebut tidak perlu
kita runcingkan, namun perlu kita hormati tanpa mencelanya.
Pada
tulisan Cak Akbar kali ini, Cak Akbar hanya menjelaskan landasan hujjah
(dalil) yang mengharamkan dan landasan hujjah yang membolehkannya,
termasuk Cak Akbar juga akan menjelaskan fenomena kegiatan wanita dalam
aktivitas Ekonomi di Zaman Rosulullah ﷺ yang tentunya berdasarkan hadis-hadis
Sohih (otentik).
B. Landasan
Hujjah Wanita Haram Bekerja
Sebagian Ulama yang mengharamkan wanita
untuk bekerja, menggunakan argumentasi ayat di bawah ini,
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ
الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ
عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu
dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah
dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
QS. Al-Ahzab: 33
Kendati ayat tersebut ditujukan kepada
poro ummul mukminin (sebutan bagi isteri Rosulullah ﷺ, secara kolektif
ayat tersebut juga ditujukan pada semua wanita mukminin.
Juga diperkuat dengan landasan dalil dalam
Hadist/Sunnah
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
“Seorang wanita yang beriman kepada
Allah dan hari akhir tidak boleh melakukan perjalanan jauh (safar) sejauh
perjalanan sehari kecuali jika bersama mahramnya.”
(HR. Muslim)
إنَّ
المرأةَ عورةٌ ، فإذا خرجتِ استشرفها الشَّيطانُ
“Sesungguhnya
wanita (kesuluruhan dirinya) adalah aurat, maka ketika mereka keluar (dari
rumah) setan akan menghias-hiasi dirinya (Sehingga menjadi fitnah)
HR. Tirmidzi
C. Landasan
Hujjah Wanita Boleh Bekerja
Tentu, jika kita melihat secara konteks
tempo dulu (di Zaman Rosulullah), bekerja sangat identik dengan keluar rumah
dan bepergian jauh. Namun seiring kemajuan zaman dan peradaban manusia, bekerja
masa kini justru tidak perlu repot-repot keluar rumah bahkan bisa dari mana
saja (WFA/Work From Anywhere). Fakta berikutnya, wanita yang bekerja
(baik di dalam dan di luar rumah) sudah ada sejak zaman Rosulullah ﷺ berikut
kami sajikan hadis yang mendukung.
a. Wanita
bekerja karena tidak ada yang menafkahi
Hadis ini diceritakan
dari Jabir bin Abdillah,
طُلِّقَتْ خَالَتِي،
فأرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا، فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ، فأتَتِ النَّبيَّ
صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: بَلَى، فَجُدِّي نَخْلَكِ؛ فإنَّكِ عَسَى أَنْ
تَصَدَّقِي، أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا.
“Bibiku telah
diceriakan (suaminya), lalu dia ingin memetik buah kurma, namun dia dilarang
oleh seorang laki-laki untuk keluar rumah.” Setelah itu istriku mendatangi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu, maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab; “Ya, boleh! Petiklah buah
kurmamu, semoga kamu dapat bersedekah atau berbuat kebajikan.”
HR. Muslim
Sebetulnya
dilihat dari hadis di atas sudah cukup memberikan kita gambaran, bahwa
interpretasi atas haramnya wanita bekerja (keluar rumah) itu tidak melulu mutlak,
bahkan istri daripada Jabir sampai harus mengkonfirmasi kepada Rosulullah
langsung ihwal bibinya yang dilarang keluar rumah oleh Sohabat yang lain.
Tentu, jika wanita keluar rumah adalah larangan mutlak/haram mutlak Nabi tentu
sudah melarangnya bukan?
b. Larangan
wanita keluar rumah dikarenakan faktor keamanan
Sebagaimana
saya jelaskan di atas, Ulama yang mengharamkan wanita keluar rumah dengan dalil
haramnya wanita yang musafir/bepergian sehari semalam tanpa mahrom, adanya
alasan/illat diharamkannya hal tersebut karena faktor kemanan. Lazim
diketahui, pada masa Rosulullah hidup (abad 6-7 M) komunitas manusia belum
se-modern sekarang. Terlebih daerah-daerah Arab yang luas akan padang pasir,
dan sistem negara yang belum maju seperti sekarang ini menyebabkan perjalanan
jauh menjadi tidak aman, terlebih bagi seorang wanita sendirian. Sangat rawan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Argumentasi kami berlandaskan pada dalil
di bawah ini, diriwayatkan dari Sohabat ‘Adiy
بيْنَا أنَا عِنْدَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ،
إذْ أتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إلَيْهِ الفَاقَةَ، ثُمَّ أتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إلَيْهِ
قَطْعَ السَّبِيلِ، فَقَالَ: يا عَدِيُّ، هلْ رَأَيْتَ الحِيرَةَ؟ قُلتُ: لَمْ أرَهَا،
وقدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا، قَالَ: فإنْ طَالَتْ بكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ
تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ حتَّى تَطُوفَ بالكَعْبَةِ، لا تَخَافُ أحَدًا إلَّا اللَّهَ
“Ketika aku sedang bersama Nabi SAW tiba-tiba ada
seorang laki-laki mendatangi beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi
seorang laki-laki yang mendatangi beliau mengeluhkan para begal”. Beliau
bertanya,”Wahai Adiy, apakah kamu pernah berkunjung ke Al Hirah?”. Aku jawab,
“Belum pernah Aku melihatnya namun Aku pernah mendengarnya”. Beliau berkata,
“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita
yang mengendarai kendaraan berjalan dari al-Hirah hingga melakukan tawaf di Ka’bah
tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah”
HR. Bukhori
Bahkan dalam lanjutan hadis tersebut, Sohabat ‘Adiy
diberi umur panjang oleh Allah dan membenarkan perkataan Rosulullah menyaksikan
betul ada seorang perempuan yang ber-Haji dari tanah Harrah seorang diri,
فَرَأَيْتُ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ حتَّى
تَطُوفَ بالكَعْبَةِ، لا تَخَافُ إلَّا اللَّهَ، وكُنْتُ فِيمَنِ افْتَتَحَ كُنُوزَ
كِسْرَى بنِ هُرْمُزَ
“Maka aku (‘Adiy) melihat perempuan dari tanah
Harrah sehingga dia Thoaf di Ka’bah dan dia tidaklah takut (pada siapapun)
kecuali kepada Allah, dan aku termasuk orang memenangkan harta simpanannya Kisro
Bin Hurmuz”
HR. Bukhori
Padahal jarak tanah Harroh ke Mekkah kurang lebih
sejarak 1.500 Km, jarak tersebut setara dari Ujung Kulon pulau Jawa sampai Bima
di NTB. Jika kita amati dialog Sohabat yang sedang mengeluh/sambat kepada
Rosulullah karena banyaknya begal/penyamun di perjalanan, dalam cerita itu
Rosulullah malah menceritakan kabar nubuwat bahwa akan ada masanya
wanita yang berjalan seorang diri dari Tanah Harroh ke Mekkah tanpa takut pada
siapapun kecuali kepada Allah. Jika kalau keluar rumah diharamkan bagi seorang
wanita seorang diri dalam sehari semalam, perjalanan dari tanah Harrah ke
Mekkah tentu sohabat ‘Adiy tadi melarang/menganggap tidak sah Toaf perempuan
tadi, karena perjalanan dari tanah Harrah ke Mekkah tidak cukup hanya sehari
(saat itu).
c.
Bekerja karena kebutuhan
sesama wanita
Poin ini menjadi krusial yang seakan-akan
mengharuskan wanita itu bekerja dengan tujuan memenuhi kebutuhan sesama wanita.
Sebagai contoh, wanita yang bekerja sebagai dokter/perawat bisa memenuhi
kebutuhan wanita itu sendiri agar terhindar dari aktivitas bersentuhan terhadap
lawan jenis yang bukan mahrom. Tentu ancaman dari bersentuhan yang bukan
mahramnya, sangatlah berat sebagaimana sabda Rosulullah ﷺ
لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ
بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
Sesungguhnya andai kepala
seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik
baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya
HR. Thobroni
Tentu jika ada wanita yang berprofesi sebagai dokter
(misal) akan meminimalkan terjadinya bersentuhan tadi. Contoh lain jika ada
wanita yang berprofesi sebagai guru/pengajar, ini juga akan meminimalisir
adanya khalwat (bercampur/nyepi) antara wanita dan laki-laki yang tidak
mahram.
Bahkan, di zaman Rosullulah para wanita turut aktif
dalam laga perang sebagai tim medis (palang merah) yang membantu persedian
logisik dan mengobati pasukan yang terluka. Kisah tersebut diceritakan Ibnu
Abbas tatkala bersurat-suratan dengan muridnya menjelang beliau wafat dalam
kitab Sohih Muslim, diantara penggalan isi surat itu
كَتَبْتَ تَسْأَلُنِي هَلْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو بِالنِّسَاءِ وَقَدْ
كَانَ يَغْزُو بِهِنَّ
فَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى وَيُحْذَيْنَ مِنْ الْغَنِيمَةِ
“Engkau (Najdah) menanyakan kepadaku, apakah para
wanita ikut berperang bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam? Betul, beliau pergi berperang bersama dengan para wanita. Mereka
(wanita) bertugas mengobati pasukan yang terluka, dan mereka diberi harta ghanimah/jarahan
ala kadarnya”
HR. Muslim
Dalam
kondisi yang genting/perang wanita saja dilibatkan dalam tindakan medis yang
membawa manfaat, tentu akan jauh lebih bermanfaat jika sesama wanita tersebut
ditangani oleh sesama wanita lainnya.
d.
Wanita berhak
mencari nafkah untuk dirinya sendiri
Kisah ini diceritakan oleh Asma’ binti Abu Bakar Asshidiq
yang bercerita tatkala dia menjadi manten anyar bersama Zubair dimana
Asma membantu profesi Zubair yang kala itu seorang petani. Simak riwayat
berikut ini,
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ
ـ رضى الله عنهما ـ قَالَتْ تَزَوَّجَنِي الزُّبَيْرُ، وَمَا لَهُ فِي الأَرْضِ مِنْ
مَالٍ، وَلاَ مَمْلُوكٍ، وَلاَ شَىْءٍ غَيْرَ نَاضِحٍ، وَغَيْرَ فَرَسِهِ، فَكُنْتُ
أَعْلِفُ فَرَسَهُ، وَأَسْتَقِي الْمَاءَ، وَأَخْرِزُ غَرْبَهُ وَأَعْجِنُ، وَلَمْ
أَكُنْ أُحْسِنُ أَخْبِزُ، وَكَانَ يَخْبِزُ جَارَاتٌ لِي مِنَ الأَنْصَارِ وَكُنَّ
نِسْوَةَ صِدْقٍ، وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى رَأْسِي، وَهْىَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَىْ فَرْسَخٍ
“Ketika Az-Zubair menikah
denganku (Asma’), dia tidak mempunyai harta benda, tidak ada budak atau apa pun
kecuali seekor unta yang mengambil air dari sumur, dan kudanya. Aku biasa
memberi makan kudanya dengan pakan ternak, menimba air, menjahit ember untuk
menggambarnya, dan menyiapkan adonan, tapi aku tidak tahu cara membuat roti.
Jadi tetangga Ansari (penduduka Madinah) kami biasa membuatkan roti untuk saya,
dan mereka adalah wanita terhormat. Aku biasa membawa batu kurma di kepalaku
dari tanah Zubair yang diberikan kepadanya oleh Rasulullah (ﷺ) dan tanah ini
berjarak dua pertiga Farsakh (sekitar dua mil) dari rumahku.
HR. Bukhori
Pada kisah hadis tersebut, Asma’ biasa wira-wiri
membantu pekerjaan zubair yang berjarak dua mil (jika pulang-pergi menjadi 4
mil, sekitar 6,5 Km). Tentu apa yang dilakukan Asma’ adalah aktivitas keluar
rumah, dan tentunya jika wanita betul-betul mutlak haram keluar rumah bukankah
hal tersebut sudah dilarang?
Adapula kisah Ro’ithoh istri daripada salah seorang
sohabat Rosulullah yang mulia, Abdullah bin Mas’ud memiliki piawai dalam
kerajinan tangan (handcrafting) juga membantu meringankan nafkah
suaminya selain itu dari hasil kerjanya itu dia hendak memberi makan
anak-anaknya dan bersedekah. Diriwayatkan dalam Musnad Ahmad dia mendatangi
Rosulullah ﷺ guna menanyakan hal tersebut, Simaklah dialog antara Ro’ithoh
dengan Rosullullah ﷺ
يا رسول الله إني امرأة ذات صنعة أبيع منها وليس لي ولا لولدي ولا لزوجي نفقة غيرها وقد شغلوني عن الصدقة فما أستطيع أن أتصدق بشيء فهل لي من أجر فيما أنفقت قال فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أنفقي
عليهم
فإن
لك في
ذلك
أجر
ما أنفقت
عليهم
Wahai Rasulullah, aku adalah
seorang perempuan yang memiliki keahlian kerajinan tangan dan hasilnya aku
jual. Aku bersama anak dan suamiku tidak memiliki penghasilan selain itu.
Mereka pun telah membuatku sibuk dari sedekah. Sehingga aku tidak bisa
bersedekah sedikitpun. Maka apakah aku akan mendapatkan pahala atas apa yang
aku nafkahkan kepada mereka? Rasulullah ﷺ bersabda, “ Nafkahilah mereka, karena
engkau akan mendapatkan pahala atas apa yang engkau berikan kepada mereka
HR. Ahmad
DPenutup
Apa yang salah
tulis ini tentu akan ada reaksi pro maupun kontra, seperti yang saya sampaikan
di muka, perkara wanita bekerja ini harus diklasifikasikan terlebih dahulu
masuk kategori ushul (pokok/prinsip) atau fuuru’
(cabang/turunan). Tentu, perbedaan pengklasifikasi akan berbeda pula produk
hukumnya, jika itu perkara ushul tentu akan bersifat final/absolut,
namun jika hal tersebut bersifat furu’ tentu akan terdapat banyak sudut
pandang yang relatif. Sebagai contoh, di suatu negara yang tengah rawan konflik
dan tidak aman, tentu fatwa wanita lebih baik di rumah dan tidak keluyuran menjadi lebih relevan. Namun masalah bekerja
ini perlu dirumuskan definisi yang komprehensif, sebab bekerja dalam konteks
hari ini sangat luas. Jika dahulu, bekerja identik dengan keluar rumah dengan
berpakaian rapih, sekarang bekerja bisa saja dari rumah tanpa meninggalkan
rumah sejengkal-pun.
Tentu, masalah
wanita bekerja ini tidak serta-merta dijalankan begitu saja, harus dipahami
beberapa adab dan aturan main yang harus dijalankan seperti tidak bersolek
secara berlebih, memakai wangi-wangian yang semerbak, dan jika dia telah
bersuami tentu harus seizin suami dan jangan sampai meninggalkan kewajiban
utamanya sebagai isteri.
Pada akhirnya
wanita yang bekerja adalah pilihan bukan kewajiban, tentu yang lebih wajib dan
utama adalah laki-laki/suamilah yang bekerja sebagaimana ayat di bawah ini
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ
اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Maha-besar.”
QS. An-Nisa: 34
Namun bukan berarti wanita tidak boleh
melakukan aktifitas yang sama dengan laki-laki (bekerja), tentu saja dari
uraian dalil-dalil yang saya sampaikan menuju pada kesimpulan, bahwa hakikatnya
bekerja adalah fitrah manusia dalam menjalankan misinya sebagai khalifah
/ peramut di bumi terlepas dia laki-laki maupun wanita. Wawhalu a’lam
Sekian,
semoga ada manfaatnya
Yogyakarta,
5 Juni 2024
#KataCakAkbar