Pendahuluan
Menurut
catatan sejarah umat manusia, lukisan makhluk hidup tertua yang saat ini
diketahui dibuat oleh manusia modern (Homo Sapiens) adalah lukisan gua babi
kutil Sulawesi (Sus celebensis) yang terletak di Gua Leang Tedongnge, Sulawesi Selatan, Indonesia
yang menurut para ahli, lukisan tersebut dibuat sekitar 50 ribu tahun
sebelum masehi. Setelahnya temuan-temuan cipta karya manusia yang berbentuk
visual (patung, lukisan, ukiran, dan sejenisnya) kian masif ditemukan se antero
dunia, baik dari bentuknya yang beragam maupun maknanya yang mendalam.
Tentu,
dari fakta historis tersebut menunjukkan bahwa manusia yang dengannya Allah
berikan anugerah untuk bercipta dan berkarya sudah akrab dengan kegiatan menciptakan
bentuk visual (yang dalam istilah arab disebut Swuroh/ صُورَة
)
sejak dahulu kala. Bahkan jika kita menelisik dari sumber teologis, Nabi Nuh Alaihissalam
yang rentang kelahirannya tidak jauh dari manusia pertama (Abbul Basyar)
yakni Nabi Adam Alaihissalam (terpaut sekitar 10 Qorn/generasi) hidup
di tengah-tengah manusia yang membuat gambar visual (patung orang-orang solih)
yang semula dibangun sebagai monumen memperingati kebaktiannya orang solih,
atas dasar tipu daya Syetan menjadikan manusia terjerumus menjadi syirik
dan menjadikan ke-lima patung orang solih tersebut (Wadd, Suwa’, Yaghuts, Yaguts,
dan Nasr) menjadi tandingan sesembahan selain Allah yang maha Esa.
وَ قَالُوۡا
لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا وَّ لَا يَغُوۡثَ
وَيَعُوۡقَ وَنَسۡرًا
Dan
mereka berkata, "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yaguts, Yaguts dan Nasr."
QS. Nuh:23
Diperkuat
argumentasi salah seorang mufassir (pentafsir Alqur’an) masyhur bernama
Ibnu Jarir At-Thobari
قَالَ:
كَانُوا قَوْمًا صَالِحِينَ بَيْنَ آدَمَ وَنُوحٍ، وَكَانَ لَهُمْ أَتْبَاعٌ يَقْتَدُونَ
بِهِمْ، فَلَمَّا مَاتُوا قَالَ أَصْحَابُهُمُ الَّذِينَ كَانُوا يَقْتَدُونَ بِهِمْ:
لَوْ صَوَرناهم كَانَ أَشْوَقَ لَنَا إِلَى الْعِبَادَةِ إِذَا ذَكَرْنَاهُمْ. فَصَوَّرُوهُمْ،
فَلَمَّا مَاتُوا وَجَاءَ آخَرُونَ دَبَّ إِلَيْهِمْ إِبْلِيسُ فَقَالَ: إِنَّمَا كَانُوا
يَعْبُدُونَهُمْ وَبِهِمْ يُسْقَوْنَ الْمَطَرَ، فَعَبَدُوهُمْ
Berkatalah
Ibnu Jarir: “mereka ini (lima orang solih tersebut) adalah qoum yang solih
(hidup) di antara (zaman) Nuh dan dan Adam. Mereka memiliki pengikut yang
meneladani mereka, kemudian ketika mereka wafat berkatalah para pengikut mereka,
“Seandainya kami membuat patung mereka hal tersebut akan membuat kami semakin
mantap dalam beribadah ketika mengingat (kesolihan) mereka”. Kemudian ketika
mereka (generasi awal yang tahu hakikatnya patung-patung tersebut bukan untuk
disembah) telah wafat, datanglah generasi sesudahnya (yang tidak tahu hakikat itu),
kemudian datanglah Syetan membisikan “sesungguhnya mereka (nenek moyangmu) itu
menyembah mereka, dan sebab mereka (patung itu) kalian diberikan hujan”. Akhirnya
mereka pun menyembah mereka”
Tafsir At-Thobari
Ayat
yang menunjukkan manusia dari awal Nabi Adam (Abbul Basyar) adalah agama
yang satu (Islam/Tauhid/Monoteisme)
كَانَ
النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةًۗ
Manusia itu (dahulunya) umat yang satu (dalam ketauhidan)
QS. Al-Baqoroh:213
Diperkuat dalam
argumentasi Sohabat Ibnu Abbas Rodiyallahuanhu me
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ بَيْنَ نُوحٍ وَآدَمَ عَشَرَةُ قُرُونٍ، كُلُّهُمْ عَلَى
شَرِيعَةٍ مِنَ الْحَقِّ
Dari
Ibnu Abbas berkata: “Telah ada antara Nuh dan Adam terpaut 10 generasi (+/-
1000 tahun), kesemuanya (10 generasi itu) berada dalam syariat yang hak
(Tauhid)
Tafsir Ibnu Katsir
Sehingga,
baik dari paparan bukti sejarah (sains) maupun teologi (Al-Qur’an) terdapat bayangan
bahwa sejak dahulu kala manusia sudah akrab dengan kegiatan men-taswir (membuat
bentuk visual) yang pada seiring perkembangan umat manusia, anugerah yang Allah
berikan tersebut malah menjatuhkan mereka ke dalam dosa yang dahsyat yang tidak
akan pernah Allah ampuni (Syirik)
اِنَّ
اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ
ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia
mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.
Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang
besar.
QS.
Al-Baqoroh: 48
Sehingga tidak berlebihan, para pembuat maupun pengguna objek visual bernyawa (antropomorfisme) di awal era kenabian mendapat kecaman yang keras mulai dari ancaman diharuskan memberikan nyawa kelak di hari kiamat sampai ancaman bahwa Malaikat pembawa Rahmat tidak akan mendiami rumah yang di dalamnya terdapat objek visual bernaywa (Swuroh/gambar mentol). Namun, seiring berjalannya waktu hukum tersebut berubah menjadi agak luwes dalam kasus-kasus tertentu sehingga diperlukan penjelasan yang lebih komprehensif guna menempatkan hukum tersebut secara mizan (seimbang/proporsional) agar tidak terkesan bahwa Islam agama yang anti seni atau agama yang menolak kemajuan. Tentu saya memohon ilham yang baik dari Allah dalam proses saya menulis ini, dan tentu saya sangat terbuka atas masukan, kritikan, dan sanggahan selagi kesemuannya itu membangun dan berdasar pada referensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Swuroh/ صُورَة
Tak
lengkap rasanya, bila kita tidak memulai pembahasan ini dengan memberikan
definisi terlebih dahulu. Perlu diketahui, sebelum era modern (ditandai dengan
revolusi industri dan ditemukannya mesin uap) cipta karya manusia umumnya hanya
terdiri dari dua jenis yakni tulisan dan visual. Tulisan, tentu dapat dijumpai
baik dalam manuskrip, gulungan, catatan, tablet tanah liat, prasasti, dan jenis
lainnya. Sedangkan visual tidak melulu soal gambar, lukisan, ataupun patung.
Dapat pula ditemukan dalam bentuk bangunan seperti candi,piramid, dan
sejenisnya. Adapula yang berbentuk perkakas seperti alat berburu, alat musik,
senjata. Adapula berbentuk pakaian adat, baju perang, sampai yang berbentuk
seni seperti tarian. Barulah semenjak era modern dan mesin perekam suara ditemukan,
cipta karya manusia bertambah lebih luas dalam bentuk audio.
Sebelum menjadi istilah teknis tersendiri dalam kajian fiqih, dalam bahasa Arab semua kegiatan yang memiliki gambaran, bentuk, dan sifat itu disebut صُوَرَ (suwaro) yang acapkali dimaknai bebas sebagai gambar. Padahal kata صُوَرَ ini maknanya sangat luas dan tidak terbatas pada sesuatu yang dilukis ataupun digambar. Hal tersebut menjadikan makna صُوَرَ sering kali menjadi tidak konsisten saat diterjemahkan ke bahasa lain (misal Indonesia), terkadang diartikan gambar, lukisan, patung, gambar timbu/relief. Namun secara bahasa yang mudah dipahami, صُوَرَ ini diartikan sebagai objek apapun yang dapat dilihat oleh indra pengelihatan manusia selain tulisan. Lebih lanjut lagi, ragam dari kata صُوَرَ dapat menjadi تَصْوِيرُ (Taswiru) sebagai kata kerja yang secara sederhana diartikan menggambar, melukis, memahat, atau membuat apapun objek yang dapat dilihat. Kemudian ada kata صُورَةٌ (Swurton) sebagai produknya, dan ada kata مُصَوِّرٌ (Musowwirun) yang berarti pelakunya.
Tentu,
pada tulisan ini saya tidak akan membahas hal yang muluk-muluk seperti teori
gramatikalnya (Nahwu Shorof) melainkan kita berfokus pada kata صُوَرَ beserta
turunannya.
Bila
kita kerucutkan makna صُوَرَ dalam konteks sesuatu yang
diharamkan, poro Ulama terdahulu mensyaratkan setidaknya harus ada dua unsur yang
terpenuhi yakni,
مُجَسَّدَةٌ
atau
berjasad/makhluk hidup/bernyawa, dan
مُجَسِّمَةٌ
atau berbayang dimana objek tersebut akan memiliki bayangan bila tersinar
matahari atau kita gunakan bahasa mudahnya berbentuk 3 dimensi (3D).
Argumentasi
itu sebagaimana pendapat Sohabat Ibnu Abbas, beliau berkata
الصورة
الرأس، فإذا قطع الرأس فليس بصورة
“shuroh
(gambar) adalah kepala, bila kepala tersebut telah dipotong/dihilangkan maka
hilanglah hakekat shuroh (gambar)”
Riwayat Baihaqi
Sebab suatu makhluk hidup,
tentu tidak akan bisa hidup (mati) bila tanpa kepala. Sehingga walaupun objek Swuroh
atau gambar mentol kita ini memenuhi kriteria berjasad dan 3D, dia akan tetap
dianggap sebagai swuroh walaupun bagian tubuhnya dihilangkan bukan
bagian vital seperti memotong tangan, menghapus/menghilangkan mata, dan
sejenisnya. Hal tersebut sebagaimana penjelasan Lajnah Ad-Daimah
(MUI-nya Saudi Arabia) menjelaskan
فإذا
أبقيت من الصورة ما لا تبقى معه حياة، فلا بأس بها وأما مجرد تغميض العين، أو مسحها،
فلا يكفي؛ لبقاء الحياة مع ذلك، ولكن يمكنك إزالة ملامح الوجه بالكلية
“Jika
dengan sifat-sifat gambar sedemikian rupa hingga tidak layak disebut makhluk
yang memiliki nyawa, maka tidak mengapa. Adapun sekedar memejamkan mata atau
menghapus mata, maka ini tidak cukup. Karena masih dianggap sebagai makhluk
yang memiliki nyawa. Maka solusinya adalah dihilangkan seluruh wajahnya”
Tentu,
jika pemahaman kita atas gambar mentol/ صُوَرَ hanya
sebatas di atas, khazanah wawasan kita atas bentuk-bentuk صُوَرَ yang
kian beragam di masa kini menjadi bias. Seperti beberapa Ulama terkini juga
memfatwakan foto/video itu sama seperti صُوَرَ sehingga
foto manusia atau makhluk hidup lainnya harus dihapus wajahnya.
Secara
sederhana, turunan daripada صُوَرَ dapat dipahami di
bawah ini,
Sehingga
dari tabel di atas dapat kita pahami bahwa memberlakukan persoalan gambar mentol/ صُوَرَ
tidak
sesederhana haram semua ataupun boleh semua. Kita bersyukur sebab poro Ulama
terdahulu telah mengklasifikasikan persoalan hukum ini sehingga kita sebagai umat
yang hidup setelahnya tidak menjadi rancu dan justru dapat memahami hukum ini
dengan mudah.
Islam dan Anikonisme
Sebagaimana diketahui, di
antara misi kenabian Muhammad ﷺ adalah mentauhidkan manusia (di antaranya
penduduk Mekkah) yang menyekutukan Allah/berbuat syirik. Sebagaimana salah satu
isi pidato/khutbah Rosulullah ﷺ
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً
رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا
ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللهِ تَعَالىَ
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan
hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali
dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.”
HR. Bukhori
Di
antara bentuk kesungguhan Rosulullah adalah ketika peristiwa bersejarah Fathul
Mekkah (Pembebasan Mekkah) tatkala beliau memasuki Baitullah Ka’bah
yang di dalamnya terdapat banyak patung-patung yang disembah, beliau secarana
seremonial menghancurkan semua patung yang ada di Ka’bah tersebut yang
menandakan bahwa era politeisme di Haramain (Makkah dan Madinah)
berakhir digantikan oleh Ketauhidan,
َخَلَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَكَّةَ ، وَحَوْلَ الْكَعْبَةِ ثَلاَثُمِائَةٍ
وَسِتُّونَ نُصُبًا فَجَعَلَ يَطْعَنُهَا بِعُودٍ فِى يَدِهِ وَجَعَلَ يَقُولُ ( جَاءَ
الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ )
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki kota Mekkah (untuk penaklukkan),
saat itu terdapat 360 berhala. Lalu beliau menghancurkan kesemuanya itu dengan
tongkat di tangannya sembari membacakan ayat (yang artinya), “Barang benar
telah datang dan barang batil telah lenyap.” (QS. Al Isra’: 81).”
HR. Bukhori
Pasca
peristiwa itu beliau juga mewanti-wanti poro Sohabatnya agar segala potensi
apapun yang menyebabkan umat Islam terjerumus dalam kesyirikan supaya dihindari
bahkan ditinggalkan. Hal inilah yang kemudian beliau ﷺ banyak menyabdakan
tentang larangan keras bagi siapapun yang membuat bahkan memanfaatkan gambar / صُوَرَ .
Berikut kami uraikan kompilasi hadisnya,
إنَّ
أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ
“orang
yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar”
HR. Bukhori
إنَّ
الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما
خلقتُمْ
“orang
yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di
hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian
buat ini’”
HR. Bukhari
كلُّ
مُصوِّرٍ في النَّارِ ، يُجْعَلُ له بكلِّ صورةٍ صوَّرها نفسٌ فتُعذِّبُه في جهنَّمَ
“semua
tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, setiap gambar yang ia buat akan
diberikan jiwa dan akan mengadzabnya di neraka Jahannam”
HR. Bukhari
من صوَّرَ
صورةً في الدُّنيا كلِّفَ يومَ القيامةِ أن ينفخَ فيها الرُّوحَ ، وليسَ بنافخٍ
“barangsiapa
yang di dunia pernah menggambar gambar (bernyawa), ia akan dituntut untuk
meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa
melakukannya” HR. Bukhari
Bahkan,
bagi yang memanfaatkan juga ada ancamannya tersendiri
لاَ تَدْ
خُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَلاَ صُوْرَةٌ
“Malaikat
tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan lukisan”
HR. Bukhori
Namun,
dalam uraian berikutnya kita akan melihat bahwa di beberapa kasus Rosulullah ﷺ sendiri
melonggarkan hukum tersebut seperti kisah Aisyah yang memainkan boneka kuda,
juga peristiwa saat Rosulullah ﷺ pulang perang Tabuk (9 H) yang di rumahnya ditemukan
kelambu yang bermotif makhluk hidup. Alih-alih dibuang, justru kelambu tersebut
dimanfaatkan sebagai alas duduk (bantal) yang diletakan di rumah.
Mengapa
hal tersebut dapat terjadi? Sebagaimana dijelaskan di awal sub bab bahwa Islam sangat
menjunjung tinggi faham Monoteisme/Tauhid dan berupaya membrantas sampai ke
akar-akarnya apapun bahkan sampai potensi terjadinya bibit-bibit kesyirikan
seperti yang terjadi pada umatnya Nabi Nuh Alaihissalam. Dalam hal ini
Islam menganut faham Anikonisme, yakni keyakinan atau praktik untuk
menghindari atau melarang gambar makhluk hidup, tokoh agama, atau
nabi. Anikonisme juga bisa diartikan sebagai ketiadaan representasi grafis
dalam suatu keyakinan.
Pada
suatu kesempatan beliau ﷺ mengutuk kelakuan poro Ahli Kitab yang membuat
patung/menggambar orang Solih dan Nabi mereka, sebagaimana hadis di bawah ini
عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ، أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا
كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم فَقَالَ:«إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ
فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ
شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»
Dari
Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan sebuah
gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah yang di dalamnya terdapat
gambar-gambar. Mereka menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka beliau bersabda:
"Sesungguhnya
orang-orang tersebut, apabila di antara mereka ada seorang yang saleh dan dia
wafat, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat gambar-gambar di
dalamnya. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat."
HR. Ahmad
Sehingga, bila kita merunut hal-hal di atas pelarangan atas صوَّرَ dilandasi agar umat Islam jangan sampai terjerumus ke dalam kesyirikan sebagaimana yang sudah terjadi pada umat-umat sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan Rosulullah Muhammad ﷺ adalah utusan terakhir yang menerima wahyu, sedangkan setelah beliau wafat tidak ada lagi Rosul sampai hari kiamat. Sehingga apa yang Rosulullah lakukan adalah bentuk pencegahan/preventif agar umatnya selamat.
Islam dan Seni
Kendati
Rosulullah melarang keras segala hal visual yang berbentuk makhluk bernyawa,
nyatanya masih terdapat celah kebolehan jenis صُوَرَ sebagaimana yang
dijelaskan sohabat Ibnu Abbas,
عن سعيد
بن أبي الحسن قال: جاء رجل إلى ابن عباس، فقال: إني رجل أصور هذه الصور، فأفتني فيها،
فقال له: ادْنُ مني، فدنا منه، ثم قال: ادْنُ مني، فدنا منه حتى وضع يده على رأسه،
وقال: أنبئك بما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول: "كل مصور في النار، يُجعل له بكل صورة صورها نفساً، فتعذبه في جنهم"،
وقال: إن كنت لا بد فاعلاً، فاصنع الشجر، وما لا نفس له.
dari
Saeed bin Abi Al-Hasan yang mengatakan: Seseorang datang kepada Ibnu Abbas dan
berkata. : Aku adalah orang yang membuat gambar-gambar, lalu dia memberiku
fatwa tentang gambar-gambar itu, lalu dia berkata kepadanya: Mendekatlah
padaku, maka dia mendekat. Lalu dia berkata: Mendekatlah padaku, maka dia
mendekat padanya sampai dia meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berkata:
Maukah aku memberitahumu tentang apa yang aku dengar dari Rasulullah? Saya
mendengar Rasulullah bersabda: “Setiap orang yang menciptakan gambar akan
berada di neraka, dan dia akan diberi jiwa untuk setiap gambar yang
diciptakannya, dan kamu akan menyiksanya di neraka. ,” dan dia berkata: Jika
kamu harus melakukannya, maka buatlah pohon dan apa yang tidak berjiwa.
HR. Muslim
Juga, hadis lainnya yang
diceritakan dalam hadis Qudsi
قال اللهُ
عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا
حبَّةً ، أو شعيرةً
“Allah
‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman
atau gandum”
HR. Bukhori
Dari
uraian dua hadis di atas dapat dipahami bahwa kegiatan تَصْوِيرُ atau
membuat gambar, melukis, dan sejenisnya tidak sepenuhnya mutlak diharamkan.
Melainkan masih dibolehkan selagi hal tersebut bukan hal yang bernyawa, bahkan
bila hal tersebut berupa gambar bernyawa harus dihilangkan unsur-unsur yang
menyebabkan gambar tersebut menjadi bernyawa seperti kepala, leher, hidung, dan
sejenisnya seperti pemahaman Sohabat Ibnu Abbas tadi.
Hal
itulah yang menjadikan selama kurun era Rosulullah sampai era daulah Abbasiyah
(abad ke 6 sampai 12) Islam tidak memliki seni yang orisinil, setidaknya hal
itu dikemukakan Richard Ettinghausen seorang ahli sejarah Jerman dalam bukunya Islamic
Art and Architecture, 650-1250. Selama kurun waktu tersebut seni dalam
Islam justru banyak terlihat dalam bidang arsitektur dan senin tulis menulis
(kaligrafi). Di antara seni arsitektur Islam yang paling terkenal adalah Arabesque.
Menariknya,
memasuki pertengahan era Daulah Abbasiyah dimana Islam banyak bersinggungan
dengan budaya non-arab, puncak-puncaknya di era Kekhalifahan Al-Maknun beliau
mendirikan perhimpunan poro cendikiawan muslim yang disebut Baitul Hikamh (House
of Wisdom) di era itu banyak menelurkan karya tulis yang justru di dalamnya
banyak gambar/ صوَّرَ, sebut saja seperti kitab Al-Hayawan
yang merupakan ensiklopedia hewan yang ditulis Al-Jahiz (abad ke-11) di
dalamnya banyak memuat gambar-gambar hewan (makhluk hidup)
Ada
juga Kitab Maqomat yang berisi tentang strategi perang dan teknologi karya Al-Hariri
(abad ke 10)
Bahkan
di buku catatan Muhammad Alfatih/ Mehmet II the conqueror terdapat
gambar-gambar makhluk bernyawa, padahal guru beliau adalah Aaq Syamsudin yang
dikenal ketat dalam urusan syariat,
Sehingga, dalam perkara ini tidak benar bilamana Islam menghambat/melarang adanya seni. Sebab berkarya adalah anugerah dari Allah subhanahu wa ta’ala yang dengannya tidak mungkin manusia di larang atasnya. Seperti yang saya kemukakan di pendahuluan perkara صوَّرَ harus diberikan porsi hukum yang seimbang agar kita bijak dalam memahaminya.
Kesimpulan
Menginjak
pada sesi akhir tulisan ini, saya hanya akan mengemukakan bagaimana poro Ulama
terdahulu pada akhirnya bersepakat/konsensus/ijma’ dalam persoalan ini. Kendati
konsensus yang disepakati adalah hukum memanfaatkan gambar/ اِقْتِنَاعُ
الصُّورَةِ namun kita juga dapat memahami bahwa sesuatu/barang yang
dimanfaatkan tentu ada yang membuatnya. Jika suatu barang itu haram dimanfaatkan/dikonsumsi,
tentu saja proses pembuatannya adalah haram begitu juga segala rantai
produksi-distribusi-konsumsinya. Sebagai contoh khomer, dikarenakan dia
haram maka yang membuatnya, pengantarnya, distributornya juga terkena laknat.
Sebagaimana hadis di bawah ini
َعَنَ
اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا
وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
“Allah
melaknat khomr, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya,
pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang
yang mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.”
HR. Ibnu Majjah
Sebaliknya
sesuatu yang boleh/halal dimanfaatkan tentu pembuatnya tidak mendapatkan
dosa/laknat.
Tulisan
ini kami sadur dari MUI-nya Mesir yakni Dar al-Ifta al-Misriyyah yang
kami rasa cukup komprehensif membahas poin-poin pemanfaatan gambar/swuroh tadi.
Berikut uraiannya,
Haram Mutlak, bila
1. Gambar itu ditujukkan untuk disembah
kepada selain Allah
أشد أنواع
الصور في الحرمة والإثم صور ما يعبد من دون الله، فهذه تؤدي بمصورها إلى الكفر إن كان
عارفًا بذلك قاصداً له.
Gambar
yang paling diharamkan dan paling maksiat adalah gambar yang diciptakan untuk
disembah selain Allah, karena hal ini menyebabkan orang yang menciptakannya
menjadi kafir jika dia mengetahuinya dan bermaksud itu.
Hal
tersebut bisa dipadankan misalnya menjadi pembuat salib, menggambar figur/tokoh
yang dikultuskan. Kendati dia tidak syirik, namun dia menyebabkan orang lain/membenarkan
orang lain berbuat syirik sehingga hal tersebut tentu saja diharamkan dalam
Islam
2. Gambar
yang dibuat dengan niat untuk menandingi ciptaannya Allah, dalam perkara ini
kembali soal niat pembuatnya saja
ويليه
في الإثم صور ما لا يعبد، ولكنه قصد مضاهاة خلق الله، أي ادعى أنه يبدع ويخلق كما يخلق
الله، فهو بهذا يقارب الكفر. وهذا أمر يتعلق بنية المصور وحده.
Dan
mendekatinya dosa (yang pertama) adalah gambar-gambar dari apa yang tidak
disembah, namun ia bermaksud meniru ciptaan Allah, yakni ia menyatakan bahwa ia
mencipta dan mencipta sebagaimana Allah mencipta, maka dengan cara demikian ia
mendekati kekafiran. Ini adalah masalah niat pelakunya saja.
Misal,
dia membuat gambar hewan A, jika dia membuat itu untuk seakan-akan menandingi
Allah jelas hal itu dilarang sebab Allah adalah maha pencipta sedangkan manusia
adalah ciptaan-NYA.
3. Gambar/foto/lukisan/patung
itu diniatkan untuk diagungkan
ودون
ذلك الصور المجسمة لما لا يعبد، ولكنها مما يعظم كصور الملوك والقادة والزعماء وغيرهم
الذين يزعمون تخليدهم بإقامة التماثيل لهم، ونصبها في الميادين ونحوها، ويستوي في ذلك
أن يكون التمثال كاملاً أو نصفياً.
Selain
itu adalah gambar tiga dimensi dari benda-benda yang tidak disembah, tetapi
termasuk di antara benda-benda yang diagungkan secara berlebihan, seperti
gambar raja, panglima, pemimpin, dan lain-lain yang mengaku dapat menjadikan (negeri/wilayahnya)
makmur dengan mendirikan patung-patungnya. Atau meletakannya pada tempat-tempat
tertentu dan sejenisnya, dan ini berlaku sama baik patung itu utuh atau
berukuran setengah (hanya kepala saja/setengah badan).
وبعدها
الصور غير المجسمة -اللوحات الفنية- التي يُعظَّم أصحابها، كصور الحكام والزعماء وغيرهم،
وخاصة إذا نصبت وعلقت، وتتأكد الحرمة إذا كان هؤلاء من الظلمة والفسقة والملحدين، فإن
تعظيمهم هدم للإسلام.
Kemudian
adalah gambar-gambar non 3D - lukisan seni - yang diagung-agungkan pemiliknya,
seperti gambar penguasa, pemimpin yang Dholim, Fasik, (bahkan) Aties, karena memuliakan
mereka dapat merusak Islam.
Penggunaan hukum ini sama
seperti poin satu dan dua, dimana walaupun pembuatnya tidak diniatkan untuk
menyembah/mengagungkannya hukumnya haram termasuk transaksi jual belinya.
Begitu juga yang menggunakannya juga berdosa sebab dia telah berbuat syirik.
Makruh. Bila
1.
Berbentuk non 3D namun untuk kemewahan
ودون
ذلك أن تكون الصورة غير المجسمة لذي روح لا يعظم، ولكن تعد من مظاهر الترف والتنعم،
كأن تستر بها الجدر ونحوها، فهذا من المكروهات فحسب
(Dan)
selain itu, gambar bukan 3D namun mempunyai ruh (bernyawa) yang tidak agung-agungkan
secara berlebih, tetapi dianggap sebagai wujud kemewahan dan kemewahan, seperti
menutupi tembok dan sejenisnya, hal itu semata-mata tidak disukai.
Misalnya, seseorang yang
memplester kamar tidurnya dengan wallpaper bergambar Hello Kitty, Avengers, gambar-gambar
hewan dan sejenisnya yang memang tidak untuk dipuja-puja melainkan hanya untuk
hiasan hal itu oleh poro Ulama dianggap Makruh/dibenci/tidak dianjurkan. Hal
tersebut dikarenakan sebagai Mukminin yang baik perilaku yang menjadikan kita
lupa dari Allah tentu sebaiknya dihindari
وَٱلَّذِينَ
هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
Dan
orang-orang (beriman adalah) yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna
QS. Al-Mu’minun:3
Hal lain juga dapat
diterapkan pada yang berbentuk 3D yang misal hanya untuk pajangan saja yang
untuk kemewahan hal ini tentu juga tidak dibenarkan yang sebaiknya dihindari.
2.
Bahkan, walaupaun dia bukan gambar makhluk
bernyawa (mujasiddah) bila memamg itu ditujukkan untuk kemewah-mewahan
alangkah baiknya dihindari
أما صور
غير ذي الروح من الشجر والنخيل والبحار والسفن والجبال والنجوم والسحب ونحوها من المناظر
الطبيعية فلا جناح على من صورها أو اقتناها، ما لم تشغل عن طاعة أو تؤد إلى ترف فتكره.
Adapun gambar-gambar yang tidak bernyawa seperti pohon-pohon palem, laut, kapal laut, gunung-gunung, bintang-bintang, awan-awan, dan pemandangan-pemandangan alam yang sejenisnya, maka tidak ada salahnya bagi yang memotretnya atau memperolehnya, kecuali jika gambar-gambar itu mengalihkan perhatian dari ketaatan atau mengarah pada kemewahan, yang tidak disukai.
Boleh,
bila
1.
Untuk anak-anak
ودونها
الصور المجسمة لكل ذي روح مما لا يقدس ولا يعظم، فإنه متفق على حرمته، يستثنى من ذلك
ما يمتهن، كلعب الأطفال، ومثلها ما يؤكل من تماثيل الحلوى.
Selain
itu adalah gambar tiga dimensi dari setiap makhluk hidup yang tidak disucikan
atau dimuliakan, sebagaimana disepakati haram, kecuali yang dikomersialkan,
seperti mainan anak-anak, dan sejenisnya atau gambar/patung permen yang bisa
dimakan.
Argumentasi pendapat ini
sebagaimana hadis yang menceritakan Aisyah bermain boneka,
كُنْتُ
أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ
يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ
مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى
“Aku
dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku
memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah
shallallahu ‘alaihi wa salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari
beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun
bermain bersamaku”
HR.
Bukhori
قَدِمَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا
سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ
فَقَالَ « مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ». قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا
لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ « مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ ». قَالَتْ
فَرَسٌ. قَالَ « وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ ». قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ « فَرَسٌ
لَهُ جَنَاحَانِ ». قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ
قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khoibar,
sementara kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang
bertiup, kain tersebut tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau
lalu bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan
bonekaku.” Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap.
Beliau bertanya, “Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?”
‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian
atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda
mempunyai dua sayap!” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa
Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau
lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.”
HR. Abu Daud
Tentu
bila kita melihat hadis ini, gambar yang berada di dalam rumah dibolehkan
selagi gambar tersebut diperuntukkan untuk anak-anak (permainan dan sejenisnya),
dan gambar/boneka tersebut tidak harus dimusnahkan misal, matanya, hidungnya,
dan sejenisnya sebab secara umum hal tersebut memamg rukhsoh/kemurahan
yang dibolehkan.
2. Untuk
dihinakan
وأخيرًا:
فإن التماثيل والصور المحرمة أو المكروهة إذا شوهت أو امتهنت انتقلت من دائرة الحرمة
والكراهة إلى دائرة الحل، كصور البسط التي تدوسها الأقدام والنعال ونحوها.
Terakhir:
Jika patung dan gambar yang diharamkan atau dibenci diubah atau dirusak, maka
beralih dari ranah larangan dan kebencian ke ranah kebolehan, seperti gambar
permadani yang diinjak kaki, sandal, dan sejenisnya.
Contohnya kue yang
berbentuk makhluk hidup (seperti hewan), tentu kue tersebut dibuat untuk
dimakan (dimusnahkan) bukan untuk dipuja maka hal tersebut dibolehkan, contoh
lainnya tong sampah bergambar kodok juga dibolehkan sebab fungsinya dihinakan.
Dalam kasus yang dibolehkan ini, bila kita bekerja di toko kuenya atau pabrik pembuatan mainan anak-anak, atau bahkan penjual mainan anak-anak tentu hal tersebut tidaklah mengapa sebab memanfaatkannya saja dibolehkan sebagaimana alur berpikir yang kami kemukakan di awal sub bab.
Tentu,
dalam tulisan kami kali ini ada poin-poin yang sekiranya pembaca menemui
ketidakcocokan dan kekurangan. Kami sangat terbuka atas masukan, kritik, dan
saran yang membangun selagi itu memiliki argumentasi yang kuat dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Sekian,
semoga Allah memberikan rahmat dan ampunan-NYA
Yogyakarta,
19 Januari 2025
#KataCakAkbar