Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir
mencuat gerakan masyarakat baik skala nasional maupun internasional yang ingin
kembali menggunakan emas dan perak sebagai uang (money) alih-alih tetap
menggunakan mata uang (currency/fiat money) konvensional yang telah
mapan.
Alasan gerakan tersebut
cukup bisa diterima seperti hegemoni mata uang tertentu yang terlalu kuat
(seperti Dollar), nilai mata uang yang makin lama makin merosot nilainya, emas
dan perak yang dianggap stabil sepanjang zaman, terlebih ada yang mengaitkan
bahwa emas dan perak merupakan sunnah Rosul yang praktis menjadikan umat Muslim
wajib menjalankannya tanpa nanti dan tapi.
Tulisan sederhana saya
kali ini beruapa opini dan alasan mengapa saya tidak sepenuhnya setuju bila hal
tersebut (penerapan emas perak) diterapkan baik secara tiba-tiba maupun
bertahap. Argumentasi yang coba saya tawarkan juga berdasarkan prespektif keilmuan
yang saya miliki (Ilmu Ekonomi dan Ekonomi Islam). Alasan yang paling mendasar sebelum
lebih jauh memulai tulisan ini adalah, objek eksperiman ekonomi adalah manusia
dengan segala aktivitasnya. Berbeda dengan ilmu pasti/saintifik yang
eksperimennya dapat dilakukan di dalam laboratorium dan simulasi. Simulasi dan
model ekonomi pada kenyataanya hanya menjawab “mengapa ini terjadi” dan
memprediksi bukan memastikan sesuatu yang terjadi di masa depan, sebab apa? Ya sosial
manusia itu kompleks baik dari tingkat antar individu (ekonomi mikro) sampai
antar bangsa dan negara (ekonomi makro). Belum lagi kejadian-kejadian luar
biasa yang manusia tidak bisa memprediksinya (Black Swan) seperti Covid.
Pada akhirnya akan ada
selalu pertentangan dari madhzab ekonomi normatif (melihat bagaimana seharusnya
ekonomi berjalan) dan madzhab ekonomi positif (melihat bagiaman
senyata-nyatanya ekonomi telah berjalan). Tentu dalam tulisan kali ini saya berupaya
menawarkan jalan tengah tentang bagaimana ekonomi dapat berjalan sesuai
normatif (berlandaskan syariah sebagai cita-cita adiluhur) dan positif (tetap
selaras dengan sistem ekonomi yang sudah mapan). Sehingga saya berharap setelah
ini tidak ada yang menuduh saya antek asing/antek kafir/liberalis. Saya hanya
beropini yang tentunya siapa pun berhak mengkritik selagi itu proporsional dan
dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa Argumentasi
Pendukung dan Bagaimana Saya Beropini
Emas dan Perak adalah
uang yang paling stabil dan tidak tergerus inflasi
Argumentasi ini bisa saya
jelaskan dengan dua kisah sejarah,
Pertama, Kisah Raja Mansa
Musa, seorang raja Islam yang memerintah negara Mali, Afrika sekitar awal abad
ke-13. Ada sebuah kisah menarik akibat kedermawanannya membagi-bagikan emas
menyebabkan perekonomian jazirah arab tergoncang hampir 10 tahun!.
Berikut kisahnya, Pada
1324, Mansa Musa I telah berencana melakukan perjalanan ziarah haji ke Mekkah.
Namun untuk menempuh jarak kira-kira 4.000 mil itu Mansa Musa tidak pergi
sendiri. Ia pergi dengan rombongan kekaisarannya yang terdiri dari puluhan ribu
tentara, budak, dan bentara.
Mansa Musa dan
rombongannya juga berbekal ratusan pon emas. Selanjutnya 12.000 budak Mansa
Musa masing-masing membawa 4 pon emas, 80 unta yang masing-masing memikul
50-300 pon emas. Lima ratus pelayan Musa yang berkuda di depannya masing-masing
juga membawa tongkat emas seberat 10,5 pon. Setiap pengemis yang terlihat,
Mansa Musa memberikan sedekah sebatang emas.
Ia juga membayar pedangan
di bazar-bazar dengan harga lebih berupa emas. Selain itu, Mansa Musa
memberikan sumbangan amal resmi ke Mesir, Mekkah, dan Madinah yang
masing-masing sebesar 1.250 pon emas. Hal itu membuat Mansa Musa dan
rombongannya selalu menarik perhatian setiap penduduk dari wilayah yang mereka
lewati dari Mali menuju ke Mekkah. Masuknya emas secara instan dan tak
terhitung di Mesir, Mekkah, dan Madinah menyebabkan hiperinflasi yang belum
pernah terjadi dan hampir memiskinkan ketiga kota besar itu selama lebih dari
10 tahun. Para ahli memperhitungkan, dari total muatan emas yang dibawa semua
unta Mansa Musa, setidaknya ada 71.000 pon emas yang pada dasar harganya rendah
di Mali, diberikan ke daerah yang menganggap emas langka dan berharga.
Kedua, Hadis yang bercerita
di zaman Rosulullah pernah terjadi harga-harga naik (inflasi), sehingga para
Sohabat sama berkeluh kesah/sambat kepada Rosulullah. Kisah tersebut
diriwayatkan dalam HR. Tirmidzi
يا رسولَ
اللهِ، غَلا السِّعرُ، فسَعِّرْ لنا، فقال: إنَّ اللهَ هو المُسعِّرُ القابِضُ الباسِطُ
الرازِقُ، وإنِّي لَأرجو أنْ أَلْقى اللهَ عزَّ وجلَّ، ولا يَطلُبُني أحَدٌ بمَظلِمةٍ
في دَمٍ ولا مالٍ
“Wahai
Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang
mengatur harga barang.” Rosulullah pun mejawab “Sesungguhnya Allah adalah Dzat
yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi
rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak
ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan
darah maupun harta.”
HR.
Tirmidzi
Dari dua peristiwa
tersebut mengindikasikan bahwa yang namanya inflasi itu akan tetap dan akan
selalu ada selama manusia melakukan kegiatan ekonomi terlepas mata uang apapun
yang mereka gunakan. Sebabnya ekonom modern pun juga memiliki beragam pandangan
tentang apa yang menjadikan inflasi. Sedikit tambah wawasan apa itu inflasi,
dalam teori ekonomi modern inflasi itu didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi
yang memenuhi syarat,
1. Harganya naik
2. Bersifat umum (tidak
hanya salah satu barang yang naik)
3. Berlangsung secara
terus menerus
Penyebab naiknya harga
ini bisa terjadi dalam beberapa hal, bisa karena persediaan barang dan jasa
yang ada di pasar berkurang atau langka (cots-push inflation) atau
karena jumlah uang yang beredar terlalu banyak. Nah, penyebab kedua ini
oleh ekonom modern G. Mankiw disebut Monetary Injection yang digambarkan
pada kurva di bawah ini
Mari kita jelaskan kurva
tersebut, pada sumbu vertikal adalah nilai uang/value of money dan sumbu
horizontal adalah jumlah uang/quanity of money. Dapat dilihat, ketika
jumlah uang yang beredar terlalu banyak (garis lurus biru money supply
di geser ke kanan/ke arah high) maka nilai uang semakin turun/low. Teori
inilah yang menggambarkan fenomena Raja Mansa Musa di abad ke 13 ketika emas
yang beredar (uang) banyak, harga emas menjadi jatuh dan menyebabkan
harga-harga menjadi mahal (inflasi). Begitupula kasus di zaman Nabi yang notabene
nya menggunakan emas dan perak (dinar dan dirham) nyatanya juga masih terjadi
inflasi (harga naik).
Jadi, argumentasi emas
dan perak tidak tergerus inflasi tidak sepenuhnya benar. Sebab inflasi itu
tidak tergantung dari mata uang apa yang digunakan, sebab selama manusia
melakukan kegiatan ekonomi inflasi akan selalu ada.
Dinar dan Dirham (Emas dan Perak) adalah Mata Uang Islam
Pertama, mari kita bedah
terlebih dahulu. Dalam buku a history
of money from ancient times to the present day karya Glyn Davies,
penggunaan uang emas (dan perak) hakikatnya sudah ada sekitar 3.000 tahun lalu.
Bahkan mata uang pertama yang digunakan umat manusia modern adalah kerang.
Terlebih jika kita telusuri, mata uang Dinar sendiri bersal dari kata Latin dēnārius
yang semula adalah sebutan untuk mata uang perak kerjaan Byzantium, Romawi
Timur. Sedangkan Dirham sendiri berasal dari kata Yunani Kuno drekhme yang
merupakan mata uang Persia Pra-Islam. Sehingga, secara langsung kondisi
perekonomian di era Rosulullah hidup mengadopsi sistem perekonomian yang sudah
mapan, dimana (di seluruh dunia) kala itu penggunaan uang yang digunakan adalah
standar uang Romawi Kuno dan Persia (Sasanid) yang kala itu merupakan negara
adidaya dunia. Walaupun pada perjalannya Rosulullah sendiri memiliki standar
tentang bobot satuan dinar dan dirham yang berlaku, kebijakan ini mirip dengan
kebijakan Bank Sentral di era modern dimana setiap negara memiliki kebijakan
tersendiri dalam mengatur jalannya moneter. Kebijakan tersebut diriwayatkan
dalam hadis di bawah ini
الْمِيزَانُ
مِيزَانُ أَهْلِ مَكَّةَ، وَالْمِكْيَالُ مِكْيَالُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ
“Timbangan
adalah timbangan pen duduk Makkah, sedang takaran adalah takaran penduduk
Madinah.”
HR. Abu Daud
Adapun Dinar dan Dirmah
yang hari ini kita kenal sebagai mata uang Islam pada kenyataanya dibuat setelah
era Rosulullah dan Khulafaturrosyidin yakni di era daulah Ummayah, lebih
tepatnya di era Malik bin Marwan. Pada era inilah diperkenalkan mata uang emas
perak bercorak Islam pertama dimana ornamen-ornamen dalam uang tersebut
bercorakkan islami,
Bahkan di era
kekholifahan Umar bin Khatab pernah terjadi mata uang yang berlaku adalah kulit
unta,
لَوْ
بَاعَ الرَّجُلُ ذَهَبًا بِالْجُلُودِ لَأَخَذْتُهُ عَيْنًا
“Seandainya
seseorang menjual emas dengan kulit (unta), aku tetap akan mengambilnya secara
tunai (tanpa tempo)”
Riwayat Ibnu Abi Syaibah
Akan tetapi hal tersebut
tidak pernah terlaksana sebab para penasehat Umar khawatir jika itu terjadi
Unta akan punah dikarenakan dihabisi dan diambil kulitnya[1]. Alasan Umar hendak
menerapkan kebijakan tersebut di antaranya kulit unta dianggap lebih bernilai
daripada emas dan perak.
Setidaknya dalam hal
tersebut Umar bin Khatab membuka opsi bahwa mata uang tidak selamanya melulu
emas dan perak asalkan dalam pertukarannya harus yadan bi yadin (kontan).
Hal inilah dalam teori modern sebagaimana dikutip dalam buku The Economics
of Money, Banking, and Financial Markets karya Frediric Mishkin,
mendefiniskan bahwa uang adalah,
“Money
is anything that is generally accepted as payment for goods or services or in
the repayment of debts.”
“Uang adalah segala sesuatu yang secara umum diterima sebagai alat pembayaran untuk barang atau jasa atau dalam pelunasan utang.”
Lebih lanjut lagi, sesuatu hal dapat dikatakan uang
setidaknya harus memenuhi 5 (lima) syarart;
Generally Accepted
(Diterima Secara Umum)
Standardized Quality
(Memiliki Kualitas yang Seragam)
Durable (Tahan Lama)
Portable (Mudah Dibawa dan
Digunakan)
Divisible (Dapat
Dibagi dalam Satuan Kecil)
Selain itu ada hal-hal lainnya yang saya tidak
sependapat mengapa emas dan perak menjadi mata uang di antaranya,
Perpindahan Kekayaan Besar-Besaran
Sebagaimana diketahui,
bahwa mata uang yang digunakan manusia saat ini adalah uang fiat/Fia Money
seperti rupiah, dollar, dan sejenisnya. Jika kita lihat sejarahnya (ini yang
akan saya bahas argumen berikutnya) mata uang tersebut adalah bukti kepemilikan/bank
note kita atas emas yang dimiliki bank sentral. Dengan kata lain, mula-mula
adanya uang kertas adalah representatif dari emas itu sendiri yang kemudian
dijangkar dalam perjanjian Bretton Wood dimana Amerika Serikat sebagai
inisiatornya. Kemudian di era Presiden Richard Nixon perjanjian ini secara
sepihak dibatalkan sehingga mata uang ini tidak dijangkar dengan cadanagan emas
di bank sentral, melainkan bagaimana kebijakannay diserahkan ke bank sentral
masing-masing negara.
Sehingga uang yang kita
gunakan saat ini menjadi berhagra karena negara (dalam hal ini bank sentral)
menganggap uang ini berharga, yang di Indonesia diatur dalam UU No. 7 tahun
2011 yang menegaskan bahwa mata uang yang berlaku (sebagai alat tukar,
penyimpan nilai, dan sejenisnya) adalah rupiah. Sehingga apa yang terjadi jika
secara tiba-tiba emas dan perak menjadi mata uang? Praktis rupiah menjadi tidak
berharga, seseorang yang memiliki 1 gram emas akan sangat kaya dibandingkan
orang yang punya 1 miliar rupiah.
Sehingga apa yang
terjadi? Tentu akan terjadi risiko sistemik, dimana masyarakat akan punic
buying beli emas dan perak yang
secara langsung menjadikan harga daripada emas dan perak ini akan langsung
melambung tinggi dan tentunya potensi ke-chaos-an yang terjadi ini sebaiknya
dihindari sebab akan menjadi bak penyakit komplikasi yang nantinya akan
merembet kemana-mana seperti krisis kedaultan nasional sehingga negara kita
dengan mudah diintervensi asing, separatisme, dan kepanikan masal.
Emas = PDB
Sederhananya, semua
kegiatan ekonomi manusia pasti membutuhkan uang/alat tukar. Uang inilah yang
kemudian menjadi cerminan seberapa banyak cakupan ekonomi suatu wilayah dapat
diukur. Saya ambil sebuah contoh, dalam keluarga, seorang ayah memiliki
penghasilan/uang Rp. 5.000.000 (5 juta rupiah) pertanyaannya berapa banyak
pengeluaran maksimal keluarga tersebut? Pasti jawabannya adalah 5 juta. Total
pengeluaran itulah yang dalam ekonomi disebut PDB (Produk Domestik Bruto) dari
sisi pengeluaran.
Dalam kasus emas, misal
di negara A jumlah emasnya adalah 1 ton emas, jika emas dalam hal ini menjadi
mata uang diterapkan maka kegiatan ekonomi di negara A tersebut hanya 1 ton
saja (dalam periode waktu tertentu). Misal terjadi penemuan tambang emas baru senilai
1 ton, maka perputaran ekonominya hanya naik sebanyak 1 ton tadi. Tentunya
seperti teori di awal tentang permintaan uang ketika jumlah uang yang beredar
banyak justru menjadikan nilai uang tersebut semakin berkurang.
Itulah sebabnya di antara
alasan kenapa perjanjian Bretton Wood ditinggalkan sebab di era itu
(pasca perang dunia II) negara-negara butuh uang lebih banyak untuk memulihkan
kembali negaranya pasca perang. Walau demikian percetakan uang secara berlebihan
itu sendiri juga berdampak fatal terhadap perekonomian negara seperti kasus di
venezuala dan Zimbabwe, sebab pemerintahnya dengan brutal mencetak uang
sebanyak-banyaknya menjadikan harga sebutir telur setara dengan 2 miliar
Zimbabwe.
Jadi, apapun mata uangnya pola pendistribusiannya haruslah secara terukur dan terarah.
Kesimpulan
Sebagaimana judul tulisan
ini, bahwa terlalu naif dan utopis menjadikan emas dan perak menjadi mata uang kembali
di tengah sistem ekonomi yang sudah “terlanjur” mapan ini. Dalam teori sosial (termasuk
ekonomi) selalu ada paradoks (sebuah kondisi dimana kenyataan tidak selaras
dengan teorinya), sebagai contoh paradoks menghemat (thrift theory)
dimana secara kondisi individu menabung/berhemat itu baik, tapi akan jadi
bencana jika seluruh negara ini menghemat, sebab perekonomian menjadi lesu,
orang dagang tidak laku sebab manusianya memilih menabung. Sama halnya dengan
penggunaan emas dan perak ini, misal di masa lalu terbukti bagus dan berhasil
belum tentu masa kini dan seterusnya begitu. Untuk masa kini, masyarakat
menggunakan emas dan perak untuk melindungi nilai/hedge fund saja alih-alih
dijadikan sebagai mata uang.
Apakah mungkin suatu saat
emas dan perak akan menjadi mata uang kembali? Bisa jadi, namun harus terjadi
sebuah kejadian yang betul-betul extra ordinary sehingga memaksa manusia
kembali menggunakan emas dan perak. Pertanyaanya kondisi tersebut pasti akan diikuti
perubahaan tatanan masyarakat yang besar, peperangan besar, dan tentunya seluruh
manusia secara kodrati sulit sepakat jika hal itu terjadi, sebab sangatlah
sulit mengendalikan manusia dengan kepala yang bebas, kecuali dengan jalur kekerasan/otoriteranisme
yang tentunya tidak diminati banyak manusia era ini.
Apakah mata uang yang
sekarang kita gunakan ini sudah baik dan berkelanjutan? Belum tentu, nyatanya
sudah ada diversifikasi lainnya seperti mata uang crypto/crypto currency
yang berbentuk digital. Tentunya hal ini masih pro kontra sebab (khususnya) di
Indonesia dia tidak dianggap sebagai uang melainkan sebagai aset digital/komoditas
berjangka. Selain itu mata uang fiat yang kita gunakan saat ini jika dikelola
dengan sembrono dan tamak akan melahrikan krisis-krisis keuangan yang
sebetulnya tidak perlu. Soal masalah riba, memang jauh-jauh hari Rosulullah ﷺ
sudah mengingatkan dengan sabdanya,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَبْقَى أَحَدٌ
إِلَّا أَكَلَ الرِّبَا، فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
“Niscaya
akan datang sautu zaman kepada manusia, tidak seorangpun yang tersisa kecuali
dia akan memakan riba, jika dia tidak memakannya dia akan terkena asapnya”
HR. Sunan Abu Daud
Namun, bukan berarti jika
menggunakan emas dan perak praktis terbebas dari yang namanya riba dan asapnya.
Semua potensi akan selalu ada tergantung bagaimana niat kita dalam menjalankan
amanah-NYA sebagai Kholifah di bumi ini.
Sekian, semoga Allah
memberikan rahmat dan ampunan-NYA
Yogyakarta, 4 Februari
2025
#KataCakAkbar